Mengenai Perasaan

5 1 0
                                    

Aku menoleh menatap figur yang mengucap kalimat tadi. Sejujurnya, aku kaget sekali. Padahal aku baru saja mengatakan bahwa hanya kakakku yang bisa memperhatikan ekspresiku sebenarnya. Tetapi, kenapa dia juga bisa?

Sebegitunya aku terlihat senang? Ya, memang benar dan aku tak menolak hal tersebut, biasa ketika aku mengatakan tentang kakakku pancar air muka kesenangan tercipta. Tidak bisa dipungkiri, bahwa aku cukup menyukai keberadaan kakakku dalam sebuah keluarga.

"Menurutmu aku senang?" tanyaku, memutar balikan pertanyaan.

Aku sengaja, ingin mendengarkan respons lain darinya. Mana tahu ekspresiku seketika berubah. Tapi, aku tidak seperti seseorang di dalam novel ataupun cerita yang kalian baca, ya!

Aku masih bersikap ramah terhadap seseorang. Setidaknya, tidak membuat mereka mengatakan aku cukup susah diajak berbicara. Padahal, aku tidak menggigit orang, kenapa ya?

Merengut. Oh, itu cukup menggemaskan. Eh, sebentar lagi-lagi? Tetapi, hanya dalam keadaan tak sadar, jadi lupakan saja hal ini. Hanya dirimu dan aku saja, yang tahu.

"Ish, aku berkata benar, kok. Arta rupanya suka iseng ya, astaga!"

Saat itu pula, tak sengaja aku terkekeh. Benar juga, begini-begini aku itu orangnya suka iseng. Kapan ya, pertama kali aku bisa iseng terhadap seseorang? Tidak ada alasan khusus sih, namun cukup lucu ketika mendapati respons orang yang terkadang tak sesuai apa yang kita akan diduga.

Ciao memukul pelan bahuku. Aduh, terasa juga sakitnya. Aku bukan seperti orang yang kuat, tidak masalah terhadap pukulan ringan meski hanya bercanda atau apa. Aku meringis karenanya, "Sakit tahu."

Kemudian, dia tampak khawatir. Takut-takut akan terjadi sesuatu. "Ah, maafkan aku."

Memutar netraku ke arah berlawanan. Mulai menjawab, "Tidak apa-apa, tapi tolong jangan lagi." Aku cukup meragukan kalimat yang aku katakan. Fisikku tak seperti apa yang diperkirakan oleh manusia lain.

Tidak juga kalau aku diibaratkan sebagai orang yang lemah pernah masuk rumah sakit. Aku bukan begitu, meski punya kondisi fisik yang terkena sentuhan agak keras atau kuat, saat itu pula aku bisa terhuyung. Ya, baru saja aku menahannya agar tak terjatuh.

Ah, kalau dipikir sepertinya Ciao tak begitu memukulku keras, tapi cukup kuat untuk seorang perempuan. Apakah ia berasal dari estrakurikuler yang melatih daya otot tangan?

"Baiklah, bilang saja kepadaku kalau ada hal yang tidak boleh aku lakukan. Agar aku bisa menghindari hal yang terjadi seperti sekarang," ujarnya sedikit menampilkan wajah bersedih.

Aku spontan menepuk kepala dia. Meski tinggi kita itu sama pada ukuran. "Tidak masalah, aku juga bersalah telah menjahilimu seperti tadi, Ciao. Saling memaafkan, bagaimana?"

Dia yang tadi tertunduk, sedikit aku melihat rona merah pada wajah. Oh, aku kira ia tidak masalah dengan sentuhan dikepala, aduh ... Dengan cepat aku mengambil tanganku seperti semula, dari atas kepala miliknya.

"Ugh, ya? Saling memaafkan itu suatu hal yang baik dilakukan." Ia mengukir senyum disana, ketika kami saling mulai berjabat tangan dengan maksud saling memaafkan.

Berbicara panjang seperti itu. Kami sebenarnya sudah memasuki istirahat yang kedua. Waktunya untuk kembali melanjutkan aktivitas tertunda. Tetapi, malah ketunda akibat kisah panjang hari ini.

Kulihat Ciao terasa berbeda. Dia sedang kepikiran sesuatu atau, mengenai masalah apa? Aku ingin memberanikan diri untuk bertanya kepadanya, "Ciao? Apa ada sesuatu yang terjadi?" Sudah berlangsung berapa menit setelah sesi saling memaafkan satu sama lain.

Bersambung

⏳️ ⬩ Equal. ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang