pembuka ; sudah biasa katanya

131 14 3
                                    


Petang yang redup di penghujung bulan Oktober, udaranya cukup sejuk kala itu

Bandung memang sudah tersohor sama udara dinginnya

Riuh suara angin yang membelai lembut dedaunan terdengar menenangkan, setidaknya untuk si pemuda yang pada sore hari ini duduk seorang diri tepat di bawah rindangnya pohon jambu

Pemuda itu hanya diam, mata awasnya memandang sekitar yang di penuhi hijau dari bentangan sawah di depannya

Perpaduan yang cukup memanjakan mata kala sang senja ikut memamerkan rona jingga di atas sana

Bukan tanpa sebab pemuda yang bernama Sajidan, berdiam diri di tempat itu

Dia sedang membujuk hati kelabunya yang merajuk.

mencoba menetralisir sesak yang merasuk tanpa permisi, mencabik hati semu yang sudah membiru. Setidaknya di tempat ini lelahnya bisa istirahat walau sebentar. Gak di pusingin sama hal yang akhir akhir ini menuhin kepalanya.

Perihal orang tua, masa depan, atau mungkin pikiran dan hatinya yang terus bertolak belakang.

Ibu yang punya watak keras, ayah itu orangnya tempramental dan ringan tangan. Ayah yang mudah kesulut emosinya kala mendapat nada tinggi dari sang ibu, pertikaian pun tak bisa di hindari jika sudah seperti itu.

Kadang kala Sajidan dengan kurang ajarnya mengucap doa agar kedua orang tua itu berpisah sekalian. Tapi masih bertahan sampai sekarang.

Namanya takdir. Atau mungkin nasib?

Bagi Sajidan bukan hanya tentang orang tua saja, sejatinya pemuda tampan itu sedang berada dalam fase 'butuh bimbingan' namun perangai orang tuanya saja seperti itu.

Lantas dari mana dirinya harus mencontoh untuk masa depannya.

Klise. Mungkin untuk orang lain di luar sana yang seperti ini cuma hal sepele. Sajidan terkekeh hambar ngeliatin awan yang berenang bebas tertiup angin di atas sana

Sajidan itu anak yang lembut hatinya.

Dirinya mulai berkeluh kesah, hanya dalam hati. Sajidan tak ingin merepotkan orang lain dengan berbagi masalahnya pada siapapun, pemuda itu tau, setiap orang punya masalah dan beban mereka masing masing.

Cukup dirasakan saja.

Sesekali menghirup oksigen dengan rakus, usaha agar beban yang menuhin pikiran dapat pergi secepatnya

Sepertinya pulang agak telat tak jadi masalah untuk hari ini

Pemuda itu masih ingin mengadu pada angin yang jadi teman setia kala kelabu berkunjung di hatinya, rupa rupanya si sedih mampir hari ini, menyambangi perasa si pemuda

Lucu pikirnya seperti menyewa jasa joki, tapi yang ini agak ngerepotin

Sajidan sudah seperti arena pacu bagi para joki jokinya ; perasa yang mengendalikan dirinya, bukan dirinya yang mengendalikan perasa itu. Kurang ajar.

Tengah asik dengan sesi mengadu kilasan hari ini, cowok pemilik eyesmile itu di kejutkan dari acara ngebujuk hatinya yang di landa sesak, terdengar suara cukup cempreng yang nyapa gendang telinga Sajidan, memecah fokus cowok itu dalam sekejap

"Woy Aji! parah parah, ngapain sareupna gini diem di sawah?"

"Pamali. Mau kamu di gondol setan?" Lanjut pemuda dengan pipi sedikit tembam. Namanya Hilman, sobat karib Sajidan.

Yang di panggil segera menyahut dengan sedikit menaikan garis kurva di wajah tampannya, Sajidan tersenyum mendapati kawan sekaligus tetangganya itu mencari keberadaan dirinya

"Yang ada setannya saya culik" Sajidan ngejawab sambil berdiri tangannya menepuk nepuk celana bagian belakang, kali saja ada debu yang nempel

Senyumnya belum juga luntur di depan pemuda yang berdiri sekitar radius tiga meter darinya, "Udah bestie kita mah" sambung Sajidan, cowok itu jalan ngedeket ke arah Hilman berdiri

Raut wajah Hilman yang dari tadi sudah kesel keliat tambah kesel denger jawaban kawanya ini

"Loba gaya na ieu budak" Hilman menyahut, tangan nya ngerangkul pundak yang lebih tinggi lalu mengapit leher Sajidan di antara ketiak yang lebih pendek, melanjutkan perjalan pulang (banyak gaya banget nih bocah)

Yang di rangkul diam saja, pasrah. Alunan tawa mengudara dengan pelan, mereka menapaki jalanan yang sedikit becek khas pesawahan.

Sang senja di atas sana semakin malu-malu menampakan jingganya, langit sudah mulai gelap.

Rencana Sajidan pulang agak malam terpaksa gagal karena pemuda yang jalan di sampingnya sore itu.

Mereka sudah dekat dengan pemukiman, Hilman secara reflek menoleh ke samping menatap sekilas Sajidan yang sudah lepas dari rangkulannya sejak tadi

"Nginep moal Ji? si mamah tadi ngerebus kacang peler, banyak pisan" Hilman ngomong sambil ketawa, nyoba ngehibur Sajidan (Nginep gak Ji? si mamah tadi ngerebus kacang peler, banyak banget)

Hilman sudah hapal sama tabiat sobatnya ini. Sekarang orang di depannya lagi gak baik-baik saja, bisa di bilang seperti itu. Hilman berusaha menjadi teman yang baik di kala sobatnya itu terpuruk.

Yang di tanya ikut ketawa denger ucapan ngawur Hilman "peler kamu Man? gak deh gak minat saya," keduanya ketawa lepas sama kekonyolan mereka sendiri

Sajidan tatap wajah Hilman yang disinari lampu jalan yang menggantung dari kejauhan, air mukanya sudah terlihat lebih santai "saya mau pulang aja,"

"Tugas biologi belum kelar, tadi keburu ngambek pulpennya, katanya teh cape di teken terus kepala saya." Sajidan terkekeh tanpa beban.

Hilman yang mendengar penuturan Sajidan cuma bisa natap sabit kembar si tampan yang terlihat menghindari kontak, sudah biasa—

"Ya saya mah ngikutin apa kata pulpen aja." Sajidan menyambung di selingi cengiran yang bikin matanya berbentuk bulan sabit

"Iya we lah kumaha kamu." Hilman ngejawab males (iya deh serah kamu aja.)

"Siap, tipayun nya." Sajidan pamit, yang di bales deheman sama Hilman di tempatnya. (Siap, duluan ya.)

Sore itu di tutup dengan mereka yang memasuki pintu rumah masing-masing.

—Sudah biasa pemuda ini memendam segalanya sendirian.








° ° °

S T A R R Y  E Y E S

06 August 2023

STARRY EYES [JAEMJEN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang