bab 31

10 3 0
                                    

happy reading 💐

   Hari ini begitu memuakkan bagi Abe. Bagaimana tidak? Ayahnya tengah berada di rumah sakit, namun dirinya tak bisa melakukan apapun. Abe tidak bisa berkonsentrasi dalam belajar. Satu jam berlalu, menandakan sesi belajar tambahan di luar kelas telah usai. Mendadak Abe menjadi lupa, hendak apa dia memegangi ponselnya.

Dia menepuk jidatnya, dirinya teringat bila harus mengisi absen. Malam ini langit terlihat mendung, gumpalan awan hitam menutupi sinar rembulan. Hawa dingin menerobos masuk ke dalam pori-pori kulitnya yang berhasil membuat seluruh bulu-bulu rambut tangan dan kakinya berdiri, akibat dari hawa dingin yang menusuk.

Abe memeluk dirinya dan mengusap tubuhnya memberi sedikit kehangatan untuk dirinya. Dia memilih belajar di balkon kamar asramanya, sebab itu dia merasakan hawa dingin yang cukup membuatnya merinding. Abe menimang-nimang bahwa sebentar lagi akan turun hujan.

Angin dari arah barat menggoyangkan bunga-bunga tulip dan pepohonan yang ada di taman, menimbulkan sebuah suara desiran halus. Hal ini menjadi terapi bagi Abe yang ingin menenangkan diri. Tubuhnya menjadi rileks ketika angin tersebut menerpa wajahnya.

Fokusnya kembali lagi, sepertinya ide belajar di balkon sangat tepat, buktinya dia menjadi lebih rileks sekarang. Abe kembali membuka buku-bukunya, mengulangi kembali materi yang sebelumnya dia pelajari di dalam kelas, maupun yang baru saja dia selesaikan.

15 menit berlalu, Abe sudah menyelesaikan belajarnya. Tepat di detik keempat Abe menutup bukunya, setetes air mulai berjatuhan menimpa kelopak bunga tulip. Lama kelamaan jutaan buliran air dari langit jatuh begitu derasnya. Aroma khas hujan menusuk panca indera penciuman Abe, ini terasa sangat menyegarkan.

Pikirannya menerawang jauh, bagaimana dirinya bisa mendapatkan izin dari pihak sekolah? Apa yang harus dilakukan? Apakah ayahnya baik-baik saja? Abe mengusap wajahnya, kebingungan terpancar jelas diwajahnya. Pemuda bermanik cokelat hazel itu terlihat frustasi.

Dia kembali menyalakan ponselnya, menghubungi seseorang bernama Ericsson. Tak selang beberapa menit kemudian, seseorang diseberang sana menjawab telepon Abe.

"gimana keadaan papa gue Ric? Apa beliau baik-baik saja? Sorry, gue baru bisa telepon lo sekarang, disini gue sibuk buat nyiapin ujian semester besok"

"iya, gapapa. Om Aryo sekarang keadaannya udah sedikit membaik, dokter mendiagnosis kalo om Aryo mengalami gejala awal serangan jantung, jadi dokter menyarankan buat om Aryo di rawat di rumah sakit, dan dokter juga melakukan pemeriksaan lanjutan buat scan keadaan jantung om Aryo. Lo jangan khawatir bokap lo pasti bakalan baik-baik aja".

Abe cukup syok dan lega dalam waktu yang bersamaan. Dia menghela nafas berat, Abe sangat mengkhawatirkannya walaupun dia masih menyimpan rasa marah karena ayahnya jarang ada waktu untuknya.

"Syukurlah, tolong bilang ke mama kalo gue nggak bisa Dateng ke sana. Sekolah nggak ngizinin gue buat keluar zona sekolah dalam bentuk alasan apapun", Abe menghirup udara dengan rakus, sejenak menyisakan suara rintikan hujan lantas dia kembali melanjutkan kalimatnya.

"gue nggak tau harus gimana lagi, gue pengen ketemu sama bokap gue, gue nggak tenang, pikiran gue buntu, bisa nggak lo bantu gue buat cari solusi?"

"HAH?! Lo serius pihak sekolah sama sekali nggak ngizinin keluar? Maksudnya mereka nggak percaya sama omongan lo gitu?"

"gue serius dodol! Bukannya nggak percaya, tapi ini emang udah peraturan dari sononya. Ada solusi nggak lo?".

Dari seberang sana, Eric yang mendengar penuturan Abe mulai berfikir keras mencari solusi.

"Gimana!!!", desak Abe tak sabaran.

"Gue ada solusi, tapi mungkin ini beresiko tinggi, tapi kalo lo setuju ya, gas ajalah"

Silhouette (slow update) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang