🖥️🎨

760 129 3
                                    

"Mwas Mwinke, nwonti temani Piko-" Piko dengan pipi mengembung berisi makanan membuka percakapan malam itu.

"Makannya dikunyah dulu Piko, baru bicara. Nanti tersedak." Minke menyela perkataan Piko yang belum selesai.

"Uhukk! Uhukk!"

"Nah kan, mas baru saja peringatkan."

"Uhuk! Uhuk!"

Minke buru-buru menyodorkan segelas air putih untuk Piko. Berdiri dari kursinya menghampiri Piko yang berada di seberang meja tempatnya duduk. Mengusap punggung sang adik.

"Maaf mas hehehe."

"Makan dulu, bicaranya nanti."

Minke kembali duduk di tempat duduknya. Menatap Piko yang tersenyum cengengesan. Minke hanya menggelengkan kepalanya.

Kalimat terakhir Minke menutup pembicaraan di meja makan itu. Selanjutnya, hanya terdengar suara dentingan sendok dan piring yang beradu.

Kini Subiakto bersaudara itu tengah duduk di ruang tamu. Menonton acara berita kesukaan Minke. Piko duduk bersila di atas sofa, menghadap Minke.

"Kenapa liatin mas begitu? Piko jadi cerita atau tidak?" Minke merasa heran dengan adiknya yang sedari tadi hanya menatapnya tanpa bicara.

Tadi setelah makan, Piko memang meminta waktu Minke untuk menemaninya. Piko ingin menceritakan sesuatu. Minke pikir itu hal penting, karena adiknya terlihat gusar setelah makan malam. Maka ia tatap Piko yang masih diam.

Setelahnya terdengar suara helaan napas dari yang lebih muda.

"Mas Minke, Piko ketemu dia lagi."

Minke yang mendengar itu langsung paham siapa "dia" yang dimaksud Piko.

Tangannya meraih remot tv, lalu mematikannya. Menaruh atensi penuh pada sang adik. Menarik kedua tangan Piko untuk Minke genggam.

"Lalu, bagaimana perasaan Piko?"

Piko menggeleng pelan. "Gak tahu."

"Piko bingung mas. Setelah sekian lama, akhirnya ketemu lagi."

"3 tahun itu bukan waktu yang singkat. Piko pikir sudah lupa. Piko pikir udah gak apa-apa. Tapi ternyata.. Piko belum siap mas."

Minke mengeratkan genggaman tangannya, saat dirasa tangan kecil itu mulai bergetar. Ibu jarinya mengusap lembut punggung tangan sang adik.

"Tidak apa-apa. Piko belum siap itu bukan sesuatu yang salah. Semua perasaan yang Piko rasakan itu benar. Valid."

"Pelan-pelan saja ya, Piko. Tidak perlu dipaksakan."

Minke merengkuh tubuh kecil Piko ke dalam pelukannya. Mengusap punggung sempit yang bergetar akibat menahan ledakan emosi. Tak terasa air mata Minke ikut mengalir bersama dengan setiap isak yang Piko keluarkan.

Minke menjadi saksi hancurnya sang adik 3 tahun lalu. Bagaimana adiknya pulang sekolah dengan seragam lusuh berantakan. Lelehan air mata terlihat jelas di pipinya. Tidak ada senyum manis seperti biasa.

Kalimat acak yang Minke dengar dari sela tangisan Piko menjadi alasan murkanya. Tapi jauh dalam lubuk hatinya, Minke menyalahkan dirinya karena merasa gagal dalam melindungi sang adik.

Sore itu, dunia Minke luluh lantak. Piko, adik kecilnya, cintanya yang ia jaga dan rawat dengan sepenuh hati, meraung di pelukannya. Tidak pernah Minke lihat adiknya menangis begitu hebat.

"Hiks.. Mas Minke.."

"J-jahat.. Mereka.."

"Maaf.. P-piko gak kuat."

Pengampunan apa yang harus Minke berikan untuk orang-orang itu? Bahkan sampai saat ini, Minke belum bisa memikirkannya.

+++

nanti bakal ada pov dari ucup juga :D
(semoga) cerita ini gak panjang, soalnya aku udh nentuin endingnya :")

makasih udah baca ♡

Episode | Cupiko/Hackforger [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang