9

39 5 0
                                    

Saat ini Lena sedang berada di boncengan Seno. Lebih memilih memegang erat kaos yang dikenakan Seno saat disuruh untuk memeluk tubuhnya.

Hujan memang sudah berhenti dan Lena yang sudah mendapat 30 panggilan tak terjawab dari ayah, nama, dan adik tirinya. Sehingga membuat Seno segera mengantar pulang Lena ke rumahnya.

Seno yang merasa bersalah karena membawa Lena tanpa izin dari orangtuanya harus mengebut dan tetap memastikan Lena harus cepat sampai di rumah.

"Nggak usah ngebut Sen, bahaya."ucap Lena saat berhenti di lampu merah.
"Kalo nggak ngebut nanti ibu  lo marah lagi, gimana?"
"Gampang kok, gue bilang aja kalo gue diculik."
"Gue nggak nyulik, kalo gue nyulik, seharusnya lo sedih bukannya senang kayak gini."

Memang baru hari ini Lena merasa bahagia kembali setelah beberapa tahun. Bahagia karena seseorang yang benar-benar nyata bukan seperti biasa dengan menghalu bersama idol Korea.

"Haha, iya Sen, gue senang, thanks ya?"
"Buat?"tanya Seno sambil melanjutkan perjalanan.
"Buat lo yang udah bikin gue senang."
"Iya, gue juga makasih banget, baru kali ini gue bisa ngerasa punya temen."

Lena tak menjawab, hanya tersenyum tipis menanggapi. Begitu juga dengan Seno yang tersenyum sambil memfokuskan kembali ke jalan menuju rumah Lena.

Hari ini senyum Lena terus berkembang, bahkan hatinya kini melunak. Merasa senang karena akhirnya dia memiliki teman pria.

Jalanan sangat ramai walaupun baru saja terang. Saling mengebut tanpa memikirkan jalan yang licin dan juga adanya genangan air.

Lena mengeratkan pegangannya di kaos Seno. Jaket yang dipakai Seno tadi sudah berpindah ke pundaknya. Tadi saat akan pulang Seno memberikan jaket untuk dipakai Lena saat melihatnya kedinginan.

Lena kembali tersenyum di boncengan Seno. Dia sekarang benar-benar bersyukur sudah mengenal Seno. Lena merasa seperti sudah kenal dari lama, tapi pada nyatanya mereka baru kenal.

🦇🦇🦇

Lena turun dari motor sambil melepaskan helm dari kepalanya. Menunggu Seno dan kemudian melangkah masuk ke rumah sambil menenteng helm di tangan kirinya.

"Ayo masuk dulu Sen!"

Seno mengikuti ajakan Lena, masuk ke dalam rumah untuk menemaninya. Seno harus bertanggung jawab jika Lena kena marah orang tuanya. Bukannya mencari muka agar dibilang lelaki gentle, tapi ini sudah tugasnya sebagai laki-laki yang sudah membawa pergi anak orang tanpa izin. Masalah lainnya, yang dibawanya adalah seorang gadis, bukan laki-laki yang pasti tak terlalu di khawatirkan.

"Assalamualaikum."salam Seno saat di ambang pintu.
"Waalaikumsalam, Lena, kamu dari mana saja Nak?mama, ayah sama gatha nelfon dari tadi kok nggak di angkat?"
"Ta-"
"Maaf tante, tadi saya yang ajak Lena pergi, maaf kalau saya nggak izin dulu sama tante, jadi tante jangan marahin Lena ya?ini semua bener-bener salah Seno kok."

Seno memotong ucapan Lena, membuat sang mama menyadari jika putrinya tidak datang sendiri. Seno mengerjap, meras ciut setelah ditatap oleh mamanya Lena.

"Jadi kamu yang bawa anak saya keluar malam?"
"Mah, apaan sih?"
"Udah, nggak papa Len, aku emang salah."bisiknya sambil tersenyum menenangkan.
"Tante kalau mau marahin saya, marahin aja tan, saya ngaku salah."
"Tante emang mau marahin kamu, berani-beraninya ngajak anak gadis pergi pulang malam, nggak minta izin lagi, cowok macam apa kamu?"

Seno terdiam, tak ingin membalas perkataan mama Lena. Begitu juga dengan Lena yang mematung mendengar ucapan mama tirinya dengan helm dipeluknya. Suara mama Lena yang begema, membuat ayah dan Agatha yang sedang bergurau menghampiri ruang tamu dengan tergesa, mereka bingung apa yang membuat sang mama mengeluarkan suara lantangnya.

"Ini ada apaan mah?"tanya ayah datang bersama Agatha.
"Loh, Seno?"
"Ini lho Yah, laki-laki ini pengen di marahin sama mama, yaudah mama marahin."

Seno dan Lena melotot dengan kompak mendengar perkataan perempuan yang hampir berumur setengah abad itu. Sedangkan sang ayah dan Agatha menyerngit bingung, kok ada sih orang yang ingin kena marah?aneh.

"Jadi, mama nggak marah?"tanya Lena dengan hati-hati.
"Nggak lah, ngapain mama marah-marah, kalo sekarang kamu udah balik dengan selamat."
"Lha terus ngapain tadi mama marahin Seno?"kini Agatha yang bertanya.
"Dia yang minta buat mama marahin, bukan salah mama dong?"

Lena dan Seno saling menatap, merapatkan bibir tak bisa berkata. Bingung juga harus berekspresi seperti apa?mau marah kepada wanita di depannya tapi masih ingat dosa yang akan ditanggung jika itu benar dilakukan.

"Terserah mama lah, maafin mama ya Sen?mama emang suka gitu."maaf Agatha.
"Eh, iya, nggak papa Tha."

Seno menghela nafasnya, dia benar-benar terkejut atas prank mama Agatha. Salah dia juga sih, langsung nyuruh buat di marahin.
Suara deheman sang ayah membuat perhatian dari Seno berpaling ke arah lelaki yang sedang menatap wajah Seno dengan penuh selidik. Terus mengamati setiap raut muka Seno yang tidak asing.

"Ayah kenapa?"
"Ayah kayak pernah lihat wajah dia, tapi ayah lupa."
"Masa sih yah, ayah lihat dimana?"

Seno menyerngit, kembali menatap ruang tamu yang seperti sudah pernah dikunjunginya, tapi lupa rumah siapa. Kini ditatapnya ayah Lena yang juga seperti mirip dengan seseorang, tapi siapa?kenapa Seno tidak bisa mengingat.

"Eh iya juga ya om, Seno juga kayak pernah ke rumah ini deh?"
"Tunggu, nama kamu siapa tadi?"
"Seno om, Se-no."
"Ah...om inget, kamu itu Eno anaknya Arland kan?"
"Loh?om kenal papa?"
"Kamu nggak inget om?om temennya papa kamu, om Satya."

Seno menautkan alisnya, berpikir siapa sebenarnya ayah Lena. Mengembalikan memori masa lalu Seno, tapi sepertinya sia-sia, dia tetap tidak ingat. Eh, tunggu?om Satya?Seno ingat sekarang, teman papa sekaligus ayah dari teman masa kecilnya.

"Om Satya?ah...Seno inget, om ayahnya Ena kan?"
"Iya, waduh nggak nyangka om, kamu udah gede kaya gini."
"Haha, iya om, Seno juga nggak nyangka om tambah tua aja."
"Aduh, kamu itu, emang bener buah memang nggak jauh dari pohonnya."

Keduanya tertawa, seakan meluapkan rindu yang sudah lama tak bertemu. Tak menghiraukan ketiga perempuan yang menautkan alis sambil bertanya-tanya, bagaimana mereka bisa kenal.

"Oh, iya om, terus Enanya mana?"
"Loh kamu nggak tahu Ena?"
"Nggak om, Seno lupa soalnya."
"Terus tadi kamu pergi sama siapa?"
"Sama Le- lah, Ena?"

Seno terkejut dengan menunjuk wajah Lena. Tak disangka, orang yang diajaknya pergi tadi adalah teman kecilnya. Si Ena atau sekarang yang dikenal dengan nama Lena sangat berbeda, pantas saja Seno sampai pangling melihatnya.

Dulu Lena gadis ramah, dengan binar mata yang indah. Selalu memanggil nama kecil Seno dengan nada imut saat Seno datang kerumahnya. Berbeda dengan sekarang dengan sifat yang susah ditebak dan mata sendunya.

Tidak heran jika Seno tidak mengingat Lena, gimana bisa ingat kalau Lena berubahnya sungguh luar biasa. Tidak hanya satu perbedaan tapi beberapa perbedaan yang tidak bisa dihitung oleh tangan.
Jika Seno menatap tak percaya, berbeda dengan Lena menatap heran ada apa sebenarnya. Kenapa ayahnya dan Seno bisa mengenal serta bagaimana bisa Seno mengetahui nama kecilnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 25, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

What is Life?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang