A Little Sister's Little Love Story

8 0 0
                                    


"Kita cuma berdua sekarang, jadi harus saling menguatkan, oke?"

Tepat setelah upacara pemakaman kedua orang tua kami usai, Kakak yang masih mengenakan pakaian serba hitam segera memelukku. Ia terisak sembari mengulang-ulang kalimat yang dia niatkan untuk kuatkan batinku yang sedang kacau ditinggal secara mendadak kedua orang tua. Erat dan hangat dekapannya buatku lebih tenang. Kubalas apa yang dia beri dengan usapan di punggung. Aku mematuhi keinginannya. Kubalas Kakak dengan kalimat yang hampir sama. "Kakak juga harus kuat. Aku akan dukung Kakak," ucapku dengan suara sengau setelah menangis.

Semakin kuusap, semakin ia erat memelukku. Namun dengan begitu, semakin deras pula linangan air mata yang membasahi pipinya. Kakak yang menguatkan, Kakak pula yang lebih keras menangis. Padahal, dia lebih tua 12 tahun.

Saat itu, aku berpikir apakah orang dewasa boleh secengeng ini? Aku merasa hal itu lucu. Sebuah pemikiran yang sesat memang. Akan tetapi, ada suatu hal yang buat diriku merasa bahwa pemikiran itu sah-sah saja.

Hangat pelukan Kakak saat itu buat jantung berusia sepuluh tahunku berdebar lebih kencang. Aku merasa ada yang aneh di dada saat didekapnya. Pipi-pipiku terasa tidak seperti biasa. Hawa yang dia bawa bahkan lebih menenangkan dibanding ibu kami berikan. Menangis kemudian tidak menjadi pilihan lagi bagiku untuk menghadapi waktu yang berat itu. Terasa sedih telah berganti menjadi bahagia saat dipeluknya. Seolah, musim dingin yang melanda hatiku selama sehari-semalam telah berubah menjadi musim semi dengan bunga-bunga indah yang bermekaran dari ujung ke ujung. Perasaan apa ini? Pemikiran dan hati anak berusia sepuluh tahunku tak bisa menerka.

Seketika, aku teringat apa yang teman-teman sekelas sering bicarakan saat mempergunjingkan anak-anak laki-laki yang terlihat rupawan.

Cinta...? Ke kakak sendiri...?

Pertanyaan itu masih bertahan di dalam dada hingga sekarang, saat kami telah terbiasa tinggal berdua di rumah kecil ini. Pertanyaan itu belakangan mulai menemui jawaban. Jawaban yang aneh, namun hanya hanya jawaban itu yang kuyakini benar.

*

"Nadia..., sarapan dulu!" panggil Kakak dari balik pintu selagi aku mengencangkan dasi.

"Iya...!" sahutku begitu seragam telah nampak rapi. "Sip," segera setelah memuji kepantasan berseragamku, kubuka pintu dan menyambut wajah mengernyit Kakak yang baru saja selesai menyiapkan sarapan. Senyum berseri-seri kuberikan sebagai tanda terima kasih atas kerja kerasnya meski dalam periode yang sulit. Kerut di dahinya seketika hilang dan lekas tersenyum. Sembari memburuku untuk segera sarapan, dia menepuk-nepuk kepalaku. Dadaku terasa melonjak setiap kali Kakak memberikan "servis" ini. "Ehehehehe...," celetukku terkekeh-kekeh.

Kuamati punggungnya. Dari setelan bekerja wanita karier itu saja, aku sudah tahu bahwa pagi kali ini dimulainya dengan kelabakan. Maklum, semalam Kakak harus begadang menyelesaikan pekerjaan yang ia putuskan untuk bawa pulang. "Aku nggak mau lembur di kantor!" seru Kakak saat kuterima tasnya yang terasa lebih berat. Bangun kesiangan adalah sesuatu yang dapat dijamin. Untunglah, aku sempat membeli roti tawar kemarin sore sepulang sekolah. Kalau tidak, mungkin Kakak akan lebih kewalahan lagi. Dia pasti sudah terisak dengan mata berkaca-kaca dan lari mondar-mandir seperti ayam kehilangan kepala.

Empat tahun tahun berlalu setelah kejadian tidak mengenakkan itu. Sarapan berdua saja telah menjadi rutinitas kami. Biasanya, Kakak yang menyiapkan sarapan dan aku bertanggung jawab atas makan malam. Tugas ini bersifat fleksibel asal kami sepakat untuk bertukar peran di sore sebelumnya. Itu pun Kakak lebih sering membawa makan malam hasil beli dari luar. Sudah jadi rahasiaku dan teman-temannya kalau wanita karier ini tidak bisa masak, namun uniknya punya indera pengecap yang mumpuni untuk menilai rasa. Karena itulah, makan malam yang ia bawa selalu enak meski harga tidak berat di kantong. Yah, meski buat Kakak masakankulah yang paling cocok di lidahnya. Aku senang mendengarnya apapun maksud di balik itu.

[Yuri Anthology] Lots of Love, Lots of LiliesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang