Keluargaku Memang Aneh

13 1 0
                                    


"Nah, anak-anak, minta perhatiannya sebentar! Sebelum pulang, Ibu mau kasih PR buat kalian."

"Yaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhh...!"

Cerianya wajah sang guru saat memberikan pengumuman tersebut berbanding kontras dengan raut wajah sepat dari para anak didiknya. Anak-anak kelas IV-A kompak mengkomplain kebijakan sang guru. Gaduhlah seisi kelas yang sebelumnya sudah bersiap untuk berkemas dengan gerutu yang tidak henti-hentinya saling bersautan. Suasana hati mereka sudah terlanjur bosan karena pelajaran Bahasa Indonesia yang menurut mereka memang membosankan. Ditambah lagi dengan sebuah PR tepat sebelum mereka pulang? Sangat beruntung bagi sang wali kelas, Bu Tania, bila masih bisa menemui satu saja yang berwajah tenang--jangankan antusias. Memang pekerjaan sulit mengendalikan para berandal-berandal yang sedang beranjak puber ini.

"PR-nya nggak sulit, kok. Ibu cuma mau minta kalian bikin puisi buat tugas Bahasa Indonesia ini."

"Yaaaaaaaaaaahhhhhhhhhh...!"

Makin menjadilah mereka ngedumel. Para anak berandal di belakang pun sudah mulai melipat kedua tangan mereka sambil memandangi tajam sang guru yang beranjak ke papan tulis. Untunglah Bu Tania bisa tidak menggubris suara-suara miring yang terdengar dari sudut belakang.

"Nah, anak-anak, Ibu minta kalian menuliskan puisi soal ini." Tepat di saat Bu Tania memungkas kalimatnya, tulisan di papan tulis pun membentuk makna. "Keluarga" adalah maksud sang guru. Sontak, suasana gaduh tadi berubah menjadi bisik dan desis. Uniknya sekalipun mulut mereka saling mengarah ke lawan bicara, mata mereka kompak menuju ke satu arah.

"Tugasnya dikumpulkan tiga hari lagi, ya, anak-anak," lanjut Bu Tania. "Lalu, Ibu juga akan minta kalian untuk maju satu-persatu. Nanti, Ibu akan rekam lalu kirim ke orang tua kalian. Ibu tahu kalian anak-anak cerdas, pasti bisa bikin puisi yang bagus-bagus!"

Kelas pun ditutup setelah murid sekelas dengan mau tidak mau mengiyakan, meski mereka semua berbagi visi yang sama: mengutuk tugas ini. Setelah mendapatkan jawaban yang dimau, Bu Tania segera keluar kelas dengan buku pelajaran yang ia tenteng.

Sejatinya, tugas ini bukanlah sebuah masalah. Saling contek pun bisa asalkan ada beberapa kata yang diganti--serta keberanian yang tinggi. Karena itulah, orisinalitas tetaplah harus dijunjung tinggi karena tiap keluarga pasti punya keunikan masing-masing. Sayangnya, keunikan inilah yang buat Ashraf pusing.

"Heh, Raf. Kamu nggak punya bapak, 'kan?!"

"Eh...?!" jawab Ashraf seadanya setelah dikagetkan pertanyaan temannya yang bertubuh gempal dengan tanpa rasa malu bin pengertian.

"Ngawur banget tanyanya, woy! Nggak disekolahin, ya, mulutmu itu?!" hardik si kurus, teman sekelas lainnya.

Tak peduli kritik yang ia terima, si gempal melanjutkan pertanyaan. "Terus mau nulis apa coba buat tugas puisi? Keluargamu nggak komplet gitu."

"Paling cuma cerita soal bundaku sama tanteku yang sering jemput itu," balas Ashraf seakan tanpa dendam.

"Yang sering jemput kamu itu?!" Jawaban Ashraf malah membuat kaget teman sekelas berambut mohawk. "Yang rambutnya pendek?! Itu tantemu?!"

"Iya. Namanya Tante Lisa. Kenapa?"

"Lah, kupikir dia ibumu. Terus, ibumu yang mana?!" si mohawk masih tidak percaya dengan penjelasan Ashraf.

"Eh...? Yang sering ambilin rapor. Orangnya agak tinggi, pakai kacamata. Rambutnya disemir warna coklat. Kalau ambil rapor sering pakai jas hitam. Ah, kamu nggak pernah ikut ambil rapor, sih, jadi nggak pernah ketemu!"

"Lah?! Kok, aneh, sih keluargamu?! Isinya malah ibu, tante, sama anak. Aneh banget sumpah!" balas si mohawk yang makin tidak bisa menangkap fakta yang dijelaskan Ashraf.

[Yuri Anthology] Lots of Love, Lots of LiliesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang