Prolog: 1001 Skenario untuk mati

40 4 2
                                    

Dave mengutuk benda pipih yang baru saja dilemparkannya ke atas aspal. Sial, harusnya dia tidak mengaktifkan internet di ponselnya, harusnya dia tak membaca pesan-pesan yang terus membanjiri notifikasinya, pesan yang membuatnya merasa gagal menjadi manusia.

Kalimat-kalimat tajam, sindiran halus, atau segala bentuk pujian palsu yang ditujukan padanya, sejujurnya Dave sudah muak dengan semua itu. Dunianya yang sempit semakin terasa sesak, Dave tak bisa bernapas dengan benar, oh, atau mungkin saat ini dia memang sedang sekarat.

Tenggelam dalam keputusasaan.

Lelaki itu membungkuk untuk memungut ponselnya kembali, setidaknya gawai miliknya bisa digunakan untuk menghibur diri dengan musik-musik ceria bertempo cepat. Dave memutuskan untuk menahannya sekali lagi. Sama seperti beberapa tahun yang lalu, semuanya pasti akan berlalu.

Dave menjejakkan tungkai kokohnya menyusuri tepi jalanan di malam hari. Dia sengaja ke luar rumah untuk berlari di lingkungannya. Angin malam menelusup masuk ke dalam tubuhnya yang hanya terbalut kaos oblong tanpa lengan.

Jam baru menunjukkan pukul sembilan, tapi udara malam mulai terasa dingin. Nekat sekali Dave keluar tanpa menggunakan jaket, padahal tubuhnya tidak pernah bertahan di suhu yang ekstrim.

Tak perlu bertanya kenapa, mungkin Dave sedang menantang malaikat maut untuk mencabut nyawanya. Di otaknya sudah terpikirkan ribuan skenario untuk mati. Salah satunya adalah mati karena kedinginan.

Namun, sepertinya tidak semudah itu. Ketika Dave berlari, suhu tubuhnya cenderung stabil. Apalagi saat dia mempercepat langkah untuk mengalihkan perhatian dari pikiran dan hatinya yang selalu berdebat.

Sampai akhirnya tersisa satu pertanyaan yang terus mengganggu dirinya, "kenapa aku dilahirkan seperti ini?" Dave menghentikan langkahnya tepat di tengah jalan. Entah sejak kapan dia berlari keluar dari jalurnya, yang jelas napasnya masih tidak teratur. Dari kejauhan samar-samar Dave bisa melihat sebuah cahaya terang benderang.

Setelah diamati cukup lama ternyata ada sebuah mobil sedang melaju ke arahnya. Dave malah bergeming, tiba-tiba skenario kedua terputar di otaknya, dia akan mati tertabrak mobil.

Tittt!!!

Suara klakson menyalak tak sabaran, memecah keheningan di jalanan sepi. Tapi Dave sama sekali tak berkedip, tatapan matanya nanar, jauh menerawang entah ke mana.

"Anjing! Kalo mau mati jangan berdiri di depan mobil gue, bangsat!" Sang sopir merapalkan sumpah serapah saat berhenti tepat beberapa senti di depan tubuh Dave. Dia seorang lelaki muda, berperawakan kekar dan berlogat asing, sepertinya dia adalah seorang pendatang. Pantas tindak-tanduk dan bahasanya cenderung kasar.

Sedangkan Dave tak menanggapinya dengan serius. Dia menunduk sopan, mundur beberapa langkah, dan kembali meneruskan kegiatannya, skenario yang kedua juga tidak berhasil.

Cukup lama Dave berlari mengelilingi lingkup kecil di dekat rumahnya, dia akhirnya memutuskan untuk berhenti di tepi danau. Duduk di bawah pohon berdaun merah-oranye, menengadah ke langit, memaki rembulan yang membiaskan cahaya bintang.

Sesekali dia menghela napas berat, dilihatnya beberapa bangunan yang terhampar nun jauh di sana, di sebrang danau ada kota yang gemerlapan, di sampingnya ada bangunan - bangunan yang kapiran. Dinding-dinding yang menopangnya sudah terkelupas, termakan usia, keropos ditelan zaman.

Sama seperti hatinya yang kian meradang. Cukup lama Dave melamun di sana, hanya satu kesimpulan yang diperolehnya. Skenario terakhir untuk malam ini, tenggelam di dasar danau.

Lelaki itu berdiri di pagar-pagar yang membatasi danau. Tak peduli dengan ponselnya yang terus berdering. Padahal Di sana tertulis nama Pia, sahabat karib Dave. Pia tak menyerah dengan telponnya, kali ini dia mengirim SMS yang langsung terbaca dari notifikasi di layar kuncinya.

'Dave, kau baik-baik saja 'kan?'

'Aku tidak akan memaafkanmu kalau kau berbuat hal gila!'

'Dave, tolong jawab telponku!'

Ketiga pesan berantai itu hanya dibalas senyum miris oleh Dave. Pia adalah satu-satunya orang yang mengerti posisi Dave, tak heran jika wanita itu mengkhawatirkan dirinya.

"Kali ini kau tak perlu memaafkanku, Pia," lirihnya hampir tak terdengar karena kalimat itu dikatakannya di tengah Isak yang berusaha diredam dalam kesunyian malam.

****

Bersambung ...

Aku tidak tahu masalah apa yang sedang kalian hadapi. Tapi jika kalian merasa sedang berada di posisi yang sama dengan Dave, tolong jangan pernah berpikir bahwa hidup kalian tidak berharga.

Semua masalah pasti berlalu, dan Dave juga berhasil melaluinya, Dave yang aku kenal sampai saat ini adalah orang yang hebat. Percayalah kalian juga hebat dan sama berharganya seperti Dave.

Peluk cinta
Nai

Sweet GumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang