Deru sepeda motor terdengar menjauh dari halaman rumah, Dave melajukannya setelah berpamitan pada sang nenek. Si hitam beroda dua itu melaju membelah keramaian pasar, melewati jalanan-jalanan berkelok tajam, menyusuri kesibukan kota di pagi hari.
Beberapa anak SD saling berpegangan tangan ingin menyebrang jalan. Ibu-ibu menenteng tas besar berlari mengejar angkutan, anak gadis berseragam putih-abu tertawa-tawa saat sampai di depan gerbang, hingga tukang gorengan di pinggir jalan yang sibuk melayani pelanggan.
Pagi memang waktu yang tepat untuk menata hati, udaranya masih sejuk, terasa menyegarkan untuk dihirup, sayangnya Dave tak bisa merasakan itu, karena wajahnya tertutup oleh masker, serta helm. Perjalan dari rumahnya ke kampus memakan waktu yang cukup panjang, sekitar tiga puluh menitan.
Jadi, Dave melajukan motornya dengan kecepatan di luar kenormalan, karena dia sudah hampir terlambat untuk menghadiri kelas. Semalam dia tidak bisa tidur, sebab bayangan masa lalunya tiba-tiba muncul. Pasti gara-gara lelaki itu. Padahal Dave belum bertemu secara langsung. Tapi dia sudah merasakan efek yang luar biasa mengganggu.
Dave mengembuskan napas kasar, dia sudah besar. Seharusnya Dave tak terjebak dengan ikatan yang telah diputuskan sejak lama. Hidupnya harus terus berjalan, sama seperti lampu lalu lintas yang sudah berubah hijau. Segera Dave menarik gas supaya sepeda motornya beranjak sampai ke kampus lebih cepat.
Namun, sepertinya Dewi Fortuna sedang tidak bertugas untuk Dave. Karena jalanan yang biasa dilaluinya tiba-tiba macet oleh acara iring-iringan pengantin. Alhasil waktunya terbuang sia-sia.
Pukul delapan lebih sepuluh, Dave baru sampai ke parkiran dan ia harus berlari menuju ke kelas, jaraknya lumayan jauh, beruntung kaki-kakinya cukup tangkas. Dave berhenti sebentar saat selesai menaiki tangga ke lantai tiga, ternyata bukan hanya dirinya yang datang terlambat, ia melihat seorang wanita berambut ikal yang sedang mengurut lututnya.
Wanita itu berbalik lantas menyipitkan mata, berusaha mengenali wajah di balik masker putihnya. "Apa kau ingin masuk ke kelas pak dekan juga?" tanyanya masih dengan napas yang memburu.
Dave mengangguk samar, dia mengenali wanita ini. Tapi Dave melupakan namanya, yang Dave ingat hanya kelasnya saja, dia berada di kelas yang sama dengan Pia. Dave pernah melihatnya beberapa kali menyapa Pia.
"Celaka! Kau ingin tetap masuk?"
"I-ya, kenapa memangnya?"
"Di dalam sana ada lebih dari lima puluh mahasiswa. Apa kamu tak merasa malu?" Perempuan itu meringis, dia nampak putus asa. Ingin masuk tapi tidak ingin dipermalukan, serba salah.
"Kita masuk bersama, ok?" Telunjuknya tiba-tiba ada di hadapan wajah Dave, dia menodong layaknya seorang preman yang sedang beraksi.
"Ok," jawab Dave singkat. Dia adalah salah satu orang yang sangat percaya pada hukum sebab-akibat. Bukannya tidak merasa malu, tapi Dave sudah mempersiapkan mental untuk komentar pedas bapak dekan, juga sorakan dari teman-temannya.
"Tapi kamu yang masuk duluan!" Berbeda dengan wanita ini yang masih terlihat bimbang. Sepertinya dia tidak pernah tampil di hadapan banyak orang.
"Ayo!" Tanpa menunggu respon dari orang aneh ini. Dave mengetuk pintu kelas, lantas membukanya perlahan. Lelaki itu tak menghiraukan suara bisik-bisik yang mengekor di belakangnya, pandangannya langsung terfokus pada lelaki yang sedang menjelaskan sesuatu di papan tulis.
"Maaf pak, boleh saya masuk dan bergabung di kelas ini?" Seketika pak dekan menghentikan kegiatannya, semua perhatian di kelas itu tersedot oleh Dave yang menyembul di pintu masuk.
"Oh, boleh dong. Ayo silakan masuk tamu spesial kita pada hari ini." Perasaan Dave sedikit tidak enak, kalimat itu bukan murni perkataan sambutan, pak dekan sedang menyindirnya dengan majas ironi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Gum
ChickLitSebuah perjalanan untuk mencintai diri sendiri di tengah trauma yang menghantui.