Sejuk udara pagi itu ia hirup. Suasana bandara yang ramai menjadi sambutan kembalinya ia ke kota ini setelah sekian lama.
Minho menggeret koper miliknya untuk melipir ke sudut bandara yang terdapat susunan kursi tunggu dan kemudian duduk di salah satunya. Lelaki itu menelisik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya guna memastikan pukul berapa sekarang.
"Ayah! Curang sekali meninggalkan anakmu dengan semua ini!"
Minho tersenyum mengejek ke arah putranya yang kini berjalan mendekat dengan kesusahan karena membawa tiga koper berukuran sedang sekaligus.
"Salah sendiri kau ingin ikut."
"Aku akan melapor pada ibu nanti kalau anaknya disini dijadikan budak pembawa barang!"
Minho memutar bola matanya dengan malas. Putranya ini memang tampan, tapi nilai minusnya adalah sikapnya yang dramatis. Sebenarnya, itu turunan dari Minho sendiri.
"Kita langsung ke rumah uncle Chris kan?"
Gelengan kepala menjawab pertanyaan Yoon-Min barusan, membuat kedua bahu pemuda jakung itu melayu. "Ayah bahkan belum mengabari uncle mu kalau kita ada di kota ini. Kita menginap di hotel yang sudah ayah pesan, jika urusan pekerjaan sudah selesai. Baru kita berkunjung, sekalian ke makam Onty dan adikkmu."
Yoon-Min mengangguk mengerti, ia juga lupa mengabari Felix. Astaga, ayah dan anak itu benar-benar sama.
"Yasudah, bawa ini semua ke mobil. Ayah ada pertemuan penting malam ini."
"Ayah aku tidak..."
"Ayah! Hey pak tua!"
Yoon-Min berdecak kesal karena ayahnya berjalan enteng meninggalkan dirinya dengan koper-koper bawaan mereka. Dasar manusia tidak berperi-keayahan.
.
Jisung termenung di depan lemari Hyunjin dengan sebelah tangan yang masuk ke dalam kotak dan memainkan lipatan-lipatan bangau kertas buatannya.
Sudah genap seribu bangau yang berhasil ia buat, tapi Jisung masih belum menggantungnya di langit-langit. Ada sesuatu yang Jisung tunggu.
Perlahan, air mata yang tak pernah habis sekalipun ia menangis setiap hari kembali mengalir membentuk sungai kecil di bawah kelopak sembab yang menyimpan binar redup itu.
Kepalanya memikirkan banyak hal. Dimulai dari kejadian pahit yang tak bisa ia lupakan. Sampai sikap ayah dan kakeknya yang sedikit banyak telah berubah tanpa sebab.
Sejak pagi anak itu dilarang pergi ke sekolah untuk sementara waktu oleh sang kakek. Sungguh, Jisung merasakan begitu banyak perubahan yang tak ia duga pada kakeknya. Bahkan Jisung takut jika dibalik itu semua terdapat alasan yang akan menyakitinya kembali.
Jisung tak ingin berharap, tapi relungnya selalu menghangat setiap kali sang kakek memperhatikan dirinya seperti beberapa hari terakhir ini.
"Jisung..."
Suara ayahnya membuat kepala Jisung lantas menoleh ke arah pintu. Dengan cepat ia menghapus air mata dan kemudian berdiri dari kursi belajar Hyunjin guna merapikan tatanan barang itu seperti semula karena takut Chris akan memarahinya sebab sudah masuk ke kamar Hyunjin dan membuat barang-barang anak sang ayah berpindah tempat.
Chris yang masih berdiri di ambang pintu tertegun melihat raut panik dan gusar di wajah Jisung. Hatinya mencelos, setakut itukah anak itu padanya? Belum lagi ia juga mihat Jisung yang semula meluruhkan air matanya.
"S-sudah Jisung bereskan, dad. Maaf karena itu, J-Jisung keluar sekarang."
Jisung berjalan cepat masih menahan air matanya hanya untuk bisa segera pergi dari hadapan sang ayah yang mungkin tak menyukai keberadaannya di kamar ini. Namun langkah anak itu sontak terhenti saat pergelangan kecilnya di tahan oleh sang ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Daddy!
Fanfiction"Apakah aku benar anakmu?" Itu tidaklah se-menyakitkan ketika pertanyaan itu berubah menjadi, "apakah kau benar daddy ku?" Kalimat tanya itu terlontar dari mulut putranya yang kini menatapnya dengan jutaan rasa kecewa dan tumpukan air mata. Putranya...