Part 7

2.8K 355 13
                                    

Fyi : Cerita ini akan tetap di post sampai tamat ya di wattpad. Walau minus ekstra maupun bonus part

Enjoy reading...

.

Walau sudah membasuh seluruh badannya dengan air hangat, rasa nyeri pada sekujur tubuh yang remuk redam tak bisa dihilangkan begitu saja. Paling kontras terlihat adalah cara berjalannya yang tertatih. Mungkin jika pergumulan gairah yang diterimanya dilakukan dengan relaks dan hati-hati, Jingga tidak akan mengalami sakit yang berlebihan.

Apa yang terjadi beberapa jam lalu lebih mengarah pada tindakan pemaksaan atau bisa dikategorikan pemerkosaan karena Biru merenggut kesuciannya dengan brutal tanpa perasaan. Namun, semua kekejian itu telah memiliki lisensi halal sehingga suka tidak suka laki-laki yang menikahinya patut mendapatkan hak penuh atas tubuhnya. Pada dasarnya, laki-laki bisa mencapai puncak kenikmatan meski berhubungan intim tanpa melibatkan perasaan.

Dengan tangan gemetar Jingga menggapai handle pintu. Kepalanya melongok lebih dulu memastikan keadaan sekitar. Diyakini tak ada tanda-tanda keberadaan seseorang, Jingga keluar dari dalam kamar mandi. Tubuhnya sudah terbalut pakaian rumahan dengan handuk melilit di rambutnya yang basah. Ia juga memberanikan membuka pintu kamar melihat situasi ruang tamu yang sepi.

"Ke mana Mas Biru?" gumamnya menggigit bibir.

Jingga berjalan pelan mendekati tempat tidur, lalu duduk di tepian. Tangannya meraba seprai yang seakan mengejeknya dengan bukti jejak keperawanannya yang membekas. Jingga menghela napas rendah, kemudian bangkit membuka kain pelindung bed tersebut untuk diganti dengan yang baru.

Secarik kertas yang hampir ikut menggumpal dengan seprai kotor itu jatuh ke lantai. Di sana terukir tinta hitam dengan tulisan yang masih dikenalinya.

'Jangan mencariku, apalagi menungguku. Dan, jangan sampai kamu mengadu yang bukan-bukan sama Iris.'

Jingga menjatuhan seprai ke lantai bersamaan dengan tubuhnya yang terlentang di atas kasur sambil meremas secarik kertas tersebut. Permukaan bibirnya menipis membentuk senyum kecut. Di pertemukan kembali dengan seseorang yang masih menyimpan luka untuknya sangatlah menyakitkan.

Tatapan yang dulu tersirat kasih sayang kini berubah menjadi sorot kebencian. Kata-kata yang dulunya mengalun bersahaja kini bagai duri tajam yang siap menusuknya kapan saja. Tak terasa bulir kesedihan meluncur lirih dari kedua sudut matanya. Tarikan napas yang tercekat karena berusaha menahannya kian menyesakkan dada.

"Aku sadar diri pantas diperlakukan kayak gini. Semua yang kamu lakuin masih belum sebanding dengan hinaan yang pernah aku muntahin ke kamu." Jingga menangis lirih seraya mencekal dada. Satu tangannya lagi mengelus benda mungil yang melingkar di jarinya. "Kalo emang dengan cara ini bisa mengurangi sakit hati kamu ... aku rela. Demi Tuhan aku ikhlas nerimanya, apalagi kamu bisa hidup bahagia sama perempuan yang kamu cintai. Mbak Iris adalah sosok yang tepat jadi pendamping hidup kamu, Mas."

***

Niat hati ingin menghindar sementara waktu, Biru justru kebablasan. Sudah tiga hari ia tak kembali ke kamar hotel yang masih ditempati seseorang yang tentu saja sedang menunggu kehadirannya. Bukan tanpa sebab Biru melakukannya, bahkan ia telah melabeli dirinya pecundang sialan.

Dengan mengaku masih sangat mencintai istri pertamanya, Biru dengan mudah tergoda pada sosok yang menemaninya tidur setelah ijab kedua. Biru seolah dirasuki iblis jahanam sehingga tidak mampu mengontrol kadar nafsunya saat melihat wanita cantik mengenakan gaun tipis berbahan sutra masih terlelap.

Tak ada bedanya dirinya dengan laki-laki bajingan penikmat seks bebas. Yang melegalkan tindakannya hanyalah catatan tertulis yang sudah diakui. Walau terbesit penyesalan, Biru tak menampik jika kepuasan batin berhasil dinikmatinya. Namun, ia tetap angkuh jika apa yang terjadi sesuatu yang wajar kendati sudah cukup lama tidak terpenuhi kebutuhan syahwatnya.

"Sialan!"

Biru menggebrak meja hingga menjatuhkan cangkir yang masih terisi kopi panas. Bayang-bayang tentang kejadian malam itu kembali berputar di otaknya, bahkan rintihan pilu kesakitan terngiang jelas dalam indera pendengarannya. Wajah ayu yang menyiratkan permohonan seolah hadir di pelupuk matanya dan sulit dienyahkan hingga menimbulkan rasa bersalah atas apa yang telah diperbuatnya.

"Jangan lemah, Biru! Dia pantas diperlakukan seperti itu. Lidahnya jauh lebih beracun dari bisa ular yang mematikan. Sangat pantas dia menerima segala bentuk pembalasan!" rutuknya menggumam.

Berkali-kali Biru menanamkan pikiran jahat itu. Kedua tangannya mengepal kuat. Pancaran matanya terlihat bengis disertai dada bidang yang kembang-kempis menahan gejolak amarah. Tak lama, gawai yang berada dalam sakunya bergetar bersamaan iringan instrumental.

"Pengantin baru susah banget sih, dihubungi."

Meski kerinduan menggumpal pekat pada suara lembut di seberang sambungan, Biru berdecak sebal menerima candaan yang mengarah pada hal sensitif itu.

"Gimana keadaan kamu? Apa ada jadwal visit dokter lagi? Bilang aja, nggak usah sungkan biar aku yang anter kamu ke rumah sakit," kata Biru penuh kekhawatiran.

"Tenang, Mas, aku baik-baik aja. Baru kemarin kontrol ditemenin papa yang lagi senggang."

"Kenapa nggak hubungi aku? Kamu ingat kan, aku masih cuti sampai minggu ini?" sergah Biru menaikan intonasi suaranya.

"Nggak mungkin dong aku ganggu intensitas berdua kamu yang cuma seminggu ini. Lagian cuma kontrol biasa, kok."

"Iya, tapi tetep aja aku harus--"

"Aku seneng loh, pas tau hape kamu nggak aktif tiga hari ini. Itu artinya, kamu bener-bener nikmatin waktu berdua sama jingga."

Tanpa Iris ketahui, saat ini Biru tengah meremas rambutnya kuat-kuat.

"Tapi kamu nggak lagi menghindar kan, Mas? Jangan sampai kamu malah ninggalin Jingga sendirian di kamar hotel dan malah sibuk sama kerjaan kantor yang nggak ada habisnya."

Dentuman jantung Biru seakan mencelus. Entah mengapa Iris seolah tahu perihal tersebut. "Jingga cerita apa aja ke kamu?" desisnya tak suka.

"Aku malah belum hubungi dia lagi karena nggak mau buat dia malu kalo aku ledekin mengenai malam pertama."

Kekehan serak Iris membuat Biru merasa bersalah telah mengkhianati perasaannya. "Kamu nggak cemburu?"

"Untuk apa? Kan, aku yang meminta kamu menikah lagi supaya kamu nggak terus-terusan tersiksa karena menahan hasrat biologis kamu. Sekarang kamu udah punya pelabuhan yang tepat dan halal, bahkan bernilai ibadah. Jadi, mana mungkin aku cemburu. Aku malah berharap apa yang kalian lakukan bisa menghasilkan sesuatu yang selama ini kita tunggu-tunggu kehadirannya."

Biru memijat pelipisnya yang berdenyut sakit. "Iris, Maaf, ada telepon masuk. Nggak apa-apa kan, kalo--"

"Iya, Mas, nggak apa-apa. Salam ya, buat Jingga."

Setelah sambungan terputus, Biru merebahkan punggungnya ke atas sofa. Sesunggunya ia masih ingin berbicara lama dengan istrinya. Namun, ketika perbincangan yang selalu dibahas tentang pernikahan keduanya membuat suasana hatinya ikut keruh.

Tepat meletakan kembali ponsel di atas meja, layar pipih itu menyala lagi. Sebuah pesan masuk dari nomor asing membuatnya mengernyit.

[Kalo urusan penting Mas Biru masih lama, aku boleh nggak langsung pulang aja supaya Mbak Iris nggak kesepian]

Biru melempar kasar benda canggih itu ke atas sofa yang sudah tidak ditempati, kemudian melangkah menuju kamar yang menjadi tempatnya bersembunyi. Setelah membereskan segala hal yang diperlukan, Biru melangkah keluar pelataran.

Bungalow yang terletak di daerah pegunungan sengaja Biru jadikan tempat pelarian, tetapi tak ada keberhasilan karena masalah yang dialaminya perlu penanganan--bukan diabaikan. Mau berlari ke ujung dunia pun tetap tidak bisa menghindari segala hal yang telah terjadi.

.



Aliceweetsz || Senin, 03 Oktober 2022

(Bukan) Istri KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang