Part 1

10K 643 21
                                    

Fyi: Cerita akan diposting sampai TAMAT

Yuk, ramaikan vote dan komentar untuk part pembuka supaya saya juga semangat up di sini.

Enjoy reading..

.

Tangan kekar yang selalu sigap membimbing tubuh lemahnya tengah membantunya bangkit dari pembaringan usai pemeriksaan lanjutan dan melakukan kemoterapi. Entah sudah yang ke sekian kalinya. 
Bibir tipis yang dulunya tampak segar nan merekah telah memucat juga kering. Keindahan senyum manisnya telah meredup sendu. Hanya sesekali terbit seulas senyum tipis di gurat wajah lelahnya. 

Iris sadar jika pengobatan yang diberikan hanya untuk mengendalikan penyakit serta memperpanjang angka harapan hidupnya. Leukemia yang dideritanya sudah masuk tahapan stadium 4. Selain kadar sel darah putih dan trombosit yang rendah, ia juga mengalami anemia, pembesaran kelenjar getah bening dan hati atau limpa. 

"Kamu udah denger penjelasan dokter?" tanya Iris sambil memakai alas kakinya. 

"Udah. Perkembangan kesehatan kamu semakin baik. Kamu harus selalu semangat supaya bisa cepat pulih." 

Iris menghentikan pijakan kaki yang baru saja beberapa langkah. Tawa serak mengalun hambar seolah mengetahui jika apa yang baru saja dikatakan suami tercintanya adalah kebohongan. 

"Kenapa ketawa?" 

Jemari ringkih Iris yang bertautan dengan jemari kuat yang membungkusnya terurai. "Nggak usah ngarang gitu. Aku tau Mas Biru cuma mau menghibur. Makanya buruan approve usulan aku supaya sebelum aku mati kamu udah punya istri pengganti." 

"Aku nggak bohong. Itu emang keyakinan aku karena percaya sama perjuangan kamu melawan penyakit itu." Laki-laki berperawakan gagah di sampingnya menoleh dengan kerutan kening. Bidikan matanya tampak tak suka. "Harus berapa kali aku bilang kalo kamu nggak akan tergantikan dengan siapa pun? Kamu pikir perasaan aku barang yang mudah dilempar sembarangan terus dipungut gitu aja?" 

Jika sudah seperti itu, Iris tak mau beradu argumen lagi. Ia paham jika lelakinya tengah putus harapan pada keadaannya lantaran diagnosa dokter yang mengatakan sisa umurnya tak lama lagi.

Diam-diam Iris mencuri dengar percakapan menyakitkan itu sekitar satu bulan yang lalu, dan kini wanita pesakitan ini mengalami penurunan stamina dari hari ke hari kendati telah melakukan rutin berbagai jenis pengobatan dan terapi. 

Iris sudah berjuang selama tiga tahun melawan penyakit mematikan ini. Nyatanya, semakin parah sejak enam bulan ke belakang. 

"Pikiran kamu cukup fokus sama penyembuhan aja. Jangan mikirin aku yang masih sehat wal afiat. Masa cuma aku yang percaya tentang kesembuhan kamu, sementara kamu sendiri justru pesimis dengan keajaiban Tuhan. Ingat, jika Dia berkehendak, nggak ada yang nggak mungkin bagi kuasa-Nya." 

"Iya, Mas, aku percaya. Makasih ya selalu setia dan selalu ada buat aku." Iris menautkan kembali jemari tangan mereka. Satu tangannya lagi digunakan untuk mengelus punggung tangan suaminya untuk meredam emosinya. "Aku mau kita langsung pulang. Mampir ke rumah Papa lain kali aja. Kamu juga mesti balik ke kantor, kan?" 

"Iya." Biru tersenyum simpul, lantas keduanya meneruskan langkah meninggalkan bangunan yang terisi orang-orang pengharap kesembuhan. 

*** 

Hidungnya menghidu aroma maskulin segar dari arah pintu bathroom yang terbuka. Dari pantulan kaca rias sepasang matanya bertumpuk pandangan pada manik gelap yang  bersinar. Wangi tubuh lembap yang masih ditetesi aliran dari ujung rambut semakin dekat tepat di belakang punggungnya. 

"Kenapa belum tidur?" tanya Biru seraya membelai rambut legam sebahu Iris. Dulu, mahkota indah itu sangat memukau dengan kelebatannya yang memanjang. Namun, kini telah menipis--sebab akibat pengobatan medis. "Aku pikir setelah minum obat kamu udah bobok." 

"Sengaja nungguin kamu, Mas." Iris menoleh, menarik Biru agar posisinya di sebelahnya. 

Kepalanya mendongak. Perlahan, kedua lengannya terangkat melingkari leher suaminya agar merunduk. Lumatan lembut mendarat di atas bibir berlekuk milik Biru. Iris sampai kewalahan mengimbangi ciuman yang bermula lembut dan berujung membara. 

"Maaf." 

Biru mengakhiri cumbuannya pada kecupan ringan di atas kening Iris. "Aku harusnya tau diri." 

Iris tersenyum getir, lalu menatapnya. Di tatap sedemikian lekat membuat Biru tak nyaman karena tahu akan dimulai lagi perbincangan memuakkan. 

"Coba kamu lihat detail perubahan tubuh aku di cermin itu," kata Iris seraya memutar tubuhnya kembali menghadap kaca rias berbingkai kayu jati. "Kecantikan aku udah pudar. Kemolekan tubuh aku juga udah berubah." 

"Semua manusia akan mengalami fase itu meski memiliki kesehatan yang bagus. Di dunia ini nggak ada yang abadi. Aku juga nanti bakalan kayak kamu. Tua, keriput, bahkan badan aku juga ikut menyusut seiring usia bertambah," balas Biru memberi pengertian. 

"Mas Biru beda sama aku, bahkan umur aku belum mencapai kepala tiga, tapi fisik aku udah kayak--" 

"Iris, dengar--" 

Tak mau ucapannya terpangkas, Iris ikut menjeda suara berat Biru. "Lihat cermin itu." 

Mau tak mau Biru mengikuti arah pandang ke depan yang memantulkan diri mereka. 

"Kamu masih ganteng, Mas. Badan kamu juga gagah perkasa. Dan ... aku tau kalo kebutuhan biologis kamu masih tinggi banget, terbukti dari cara kamu menciumku tadi. Sayangnya, aku udah nggak bisa lagi kasih kamu nafkah batin. Nggak bisa lagi kasih kamu kepuasan nafsu laki-laki normal pada umumnya." Iris menahan tangis menggigit bibir bawahnya. 

"Kamu pikir aku binatang yang nggak bisa nahan hawa nafsu?" 

"Nggak, Mas. Bukan itu maksudku." 

"Lantas?" 

Iris menghela napas panjang. Telunjuknya menyeka sudut mata yang mulai berair. "Udah berapa lama kita nggak berhubungan intim?" 

"Nggak ngitungin, karena itu bukan tujuan utama kita menikah," jawab Biru santai. 

"Tapi kamu laki-laki normal, Mas. Butuh pelampiasan hormon seksual. Terhitung udah enam bulan aku nggak melayani kamu. Mau sampai kapan kamu bertahan, Mas?" 

"Bentar lagi kamu bakalan sembuh, kok. Aku percaya itu," tandas Biru penuh percaya diri. 

"Astaga! Harus pakai cara apa supaya kamu bisa nerima keadaan? Aku ngomong begini bukan karena nggak percaya mukjizat Tuhan, tapi ada baiknya kamu juga berpikir rasional. Leukemia aku stadium 4. Dan kamu nggak bisa bohongin aku tentang diagnosa dokter kalo umur aku nggak akan sampai setahun ke depan." Iris menitikkan air matanya. Tangannya gemetar menangkup jemari Biru yang mengepal. 

Biru tak bisa lagi berkata-kata mengetahui Iris telah mendengar penjelasan dokter mengenai perkembangan penyakitnya. 

"Mas Biru ..." 

Biru menyeka butiran air mata yang terjatuh di pipi Iris. "Maaf, aku mau pake baju. Lama-lama bisa masuk angin kalo kelamaan begini," ucapnya bersedekap seolah kedinginan karena tubuh atasnya masih terekspos hanya menggunakan handuk putih sebatas pinggul. Sengaja Biru berkata demikian guna menghindari perdebatan yang tidak akan ada habisnya. 

Iris menatap kecewa punggung Biru yang sedang mengambil pakaian tidur di lemari. Semakin sedih ketika tubuh gagah itu menghindarinya dengan sengaja kembali masuk ke dalam kamar mandi. 

"Maaf, Mas, bukannya aku nggajk bersyukur punya suami setia seperti kamu. Aku jauh lebih tersiksa melihat kamu terlantar karena keterbatasan kemampuanku. Kamu layak mendapat perempuan sempurna yang bisa melayani segala kebutuhan lahir dan batin." 

Iris menangis pilu. Satu tangannya mencengkeram dadanya yang berdenyut sakit. "Demi Tuhan, aku ikhlas kamu berbagi cinta. Supaya aku bisa tenang saat ajal menjemputku."
 

.
.

Follow Instagram ya!
Di sana banyak tebaran spoiler dan video ala trailer menggugah selera🔥

Aliceweetsz || Senin, 20 Juni 2022

(Bukan) Istri KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang