Munafik lo Nay

15 3 0
                                    

"Morning, Ma."

Naya turun dari lantai atas dengan seragam lengkap. Ia menelisik ruang makan lalu duduk di kursinya.

"Morning, sayang."

"Papa mana, Ma?" tanya nya.

"Udah berangkat sama Sean," jawab Ayla sambil mengolesi slei pada roti.

Naya mengangguk

"Oke, deh. Udah selesai, Aya berangkat dulu ya. Assalamualaikum."

Ia langsung berdiri dan menyalami Ayla. Kakinya melangkah menuju halaman rumah, dimana Dea duduk di teras menunggunya.

"Tumben kamu jemput, De," ujarnya memasuki mobil.

Dea memutar matanya malas.

"Syukur, udah gue jemput. Gak mubazir ongkos kan lo," jawabnya.

"Hehe, iya deh."

Dea segera mengendarai mobilnya ke sekolah diiringi pembicaraan ringan dari keduanya.

"Good pagi para babu ku."

Suara Sherly terdengar melengking di depan pintu. Baru saja mereka sampai kelas, sudah diberikan asupan suara gadis ini.

"Berisik, Sher. Awas sana, kami mau masuk."

Sherly mengangguk mempersilahkan keduanya masuk kelas.

"Tumben gak sih, Dea datang cepat gini?" Ujar Sherly melirik Feli.

Wajahnya terlihat kesal karna tidak mendapat respon dari gadis pendiam satu itu. Sungguh, ia ingin membuka lebar mulut Feli agar bisa menjawab.

Pagi mereka di temani dengan obrolan ringan hingga guru datang. Pelajaran yang sangat dihindari para murid. Apalagi kalau bukan matematika?!

"Makin lama, gue makin bingung."

Mereka melirik ke arah Dea yang meletakkan kepalanya di atas meja sambil melihat guru di depan.

"Makanya belajar yang rajin, De. Biar nanti punya keturunan gak ketular otak kosong lo," kekeh Sherly.

Dea memutar matanya kesal. Ia tiap bentar melirik jam dinding. Tidak fokus lagi ke papan tulis, dimana guru masih menerangkan.

Pelajaran membosankan itu berakhir dengan sangat lama. Ketika bel pergantian pelajaran berbunyi, Satu kelas menghela nafas.

Akhirnya penderitaan ini selesai.

"Sher, kantin cari jajan kuy," ajak Dea yang baru saja merapikan buku yang digunakannya tadi.

"Males ah, nanti pak Harto masuk lagi."

"Pak Harto siapa?"

Feli dan Naya yang mendengar pembicaraan mereka menoleh kebelakang.

"Pak Harto kan guru fisika, De. Emangnya kamu gak liat jadwal?"

Dea menggeleng menjawab pertanyaan Naya. Sontak feli yang tepat di depannya memukul kepala Dea dengan buku.

"Goblok, pantas aja dari tadi lo cuma coret-coret buku. Pasti dalam tas lo, gak ada buka pelajaran," ujarnya.

Dea menggaruk tengkuknya. Tersenyum konyol menampakkan gigi nya yang berbaris rapi.

"Dasar."

Bukan suara Feli, Sherly, atau Naya. Tapi suara yang dibelakangnya.

"Eh Marvel, Dea mah emang gitu anaknya."

Ya, dia Marvel, Marvelio Pratama. Cowok yang sangat diincar oleh Dea. Namun, sampai sekarang tidak ada kemajuan sedikitpun.

Satu Tapi (Tak) SamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang