Part 2 : Learn to Love

8.9K 405 21
                                    


ALICE


Udah sebulan sejak pertemuannya dengan cowok yang siapalah itu. Dan sama sekali tidak  menunjukkan usaha untuk keep in touch, which means perjodohan ini bakal di batalin, seratus persen yakin. Pikirku.

Nada dering di smartphoneku berbunyi. Dari mama. "Halo, mama, apa kabar?" jawab Alice.

"Alice, kamu besok datang ke rumah ya, sama Nathan. Mama mau ketemu." Kata mama dengan nada senang.

"Oh, ok. Eh, gak bisa. Hari kerja Ma." Sepertinya ada yang aneh. Eh? Nathan siapa? "Nathan siapa?" tanyaku.

"Nathan siapa? Ya, pacar kamu dong, siapa lagi?" jawab mama.

"Oh, namanya Nathan. Baru juga ketemu sekali, bukan pacar ma." Protesku.

"Loh, kok baru sekali ketemu, bukannya udah dari sebulan lalu?" tanya mama.

"Iya, pertama dan terakhir. Jodohinnya batal ya!" jawabku. "Udah dulu ya ma, masih ada kerjaan."

"Eh, kamu masih di kantor? Udah jam sembilan loh, bahaya kamu perempuan pulang sendiri malem-malem gini," ceramah mama. Mengabaikan kata-kataku sebelumnya. "Minta Nathan jemput deh," usul mama.

"Iya, ma, tau kok, rencananya mau nginep di kantor aja. Udah bawa baju ganti kok." Jawabku, tidak mempedulikan kalimat terakhir mama. Memang ada beberapa klien  yang harus kuurus saat ini. Beberapa hanya meminta design kamar, jadi mudah saja, beberapa lainnya adalah klien besar, ada cafe yang ingin berganti suasana dan apartement besar yang masih kosong melompong.

"Ya sudah, jangan kerja terlalu malam ya." Saran mama.

"Iya, sudah dulu ya." aku pun memutuskan sambungan dan kembali menekuni pekerjaanku.


Tok tok tok


Siapa? Bukannya yang lain udah pada pulang? Bulu kudukku merinding. "Ma...masuk." ujarku, ragu.

"Hi." Ujar suara serak dari balik pintu.

"Ternyata lo. Err... siapa lagi nama lo?" tanyaku.

"Nathan." Jawabnya, bingung dengan pertanyaanku.

"Oke, kenapa lo ada di sini?" tanyaku.

"Jemput lo. Ketemu lo. Whatever you want." Jawabnya, menutup pintu di belakangnya.

Mulai risih, hanya berdua seperti ini, but, tetap duduk di kursiku. Tenang, banyak benda tajam di meja. Cowok itu, errr, Nathan? Mulai berjalan ke arahku. "Lo berani mendekat, gue tusuk lo." Ancamku, meraih salah satu cutter di atas meja, saat kulihat dia berjalan mendekatiku.

"Hah?" tampak bingung disuguhi ancaman itu, sedetik kemudian, "Astaga, lo pikir gue mau nyerang lo? Mustahil lah."

"Terus, mau lo apa?" tanyaku, tetap mengacungkan cutter itu, membuat Nathan, eh inget juga namanya, berhenti di tengah ruangan.

"Udah gue bilang tadi, ngejemput lo." Jawabnya tetap santai walau diacungi cutter. "Tadi ortu lo nelpon, katanya lo masih di kantor. Udah malam. Bahaya pulang sendiri."

"Gue bawa mobil kok. Pulang aja, gue bisa jaga diri." Tolakku.

"Bahaya, lo cewek, udah malem." Ulangnya. Dia memasukkan kedua tangannya di dalam kantong celana. Baru kuperhatikan kalau dia mengenakan kemeja putih dengan lengan yang digulung di balik vest hitam, dasi merah plus celana hitam. Kenapa dia jadi keren?!

"Gue nginep disini kok, lo pulang aja." Masih berusaha menolak. Setidaknya berusaha, karena sepertinya cowok yang berdiri dihadapanku ini tidak mengerti kata ditolak.

Our Fate | Published on DreameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang