7

34 12 0
                                    

Rupa-rupanya, Bruno sadar bahwa kedatangan wanita itu kemari adalah untuk menjemputnya. Hendak mengambil Bruno serta merenggutnya dari Holog's Home yang telah membesarkannya selama ini.

Tentu saja pemuda itu tak akan sudi meninggalkan Bu Yayasan dan memilih tinggal dirumah wanita yang bahkan enggan ia sebut ibu itu. Bruno masih waras untuk berpikir sehat apalagi membedakan mana yang benar dan salah.

Menerima wanita egois ini?

Sungguh, Bruno tak tahan ingin tertawa sekencang-kencangnya dihadapan wanita sosialita itu. Mungkin lewat tawanya, Bruno bisa menyadarkan wanita ini untuk berkaca baik-baik.

Pantaskah dirinya disebut ibu? 

Kontras dengan jalan pikiran Bruno saat ini, hati orang tua mana yang tak teriris melihat pertumbuhan putra semata wayangnya kini telah mencapai usia dewasa tanpa pantauannya sedikit pun. Bahkan dengan gerak-gerik yang tak seberapa, Bruno berhasil menguasai segala emosi dalam jiwa ibunya.

Mari kita panggil wanita ini dengan kata 'Ibu' mewakili Bruno.

Obsidian bening itu mulai berkaca-kaca ketika menatap anak laki-laki yang belum Ibu ketahui latar belakangnya sama sekali. Yang Ibu tahu, Bruno adalah wujud dari buah hati kecilnya yang kini sudah mendewasa.

Sementara Ibu masih tersibukkan oleh caranya mengatur nafas, Bruno berangsur mendudukkan dirinya keleher ranjang tempatnya berbaring. Ia memberi tatapan sayu dan wajah pucat pasi kepada Ibu.

"Bruno sayang..." Ibu menggigit bibir bawahnya menahan tangis kala tangannya terulur menyentuh pipi Bruno yang lembab.

Anak laki-laki itu sontak memalingkan wajahnya dengan cepat, menyertakan gubrisan dingin bermaksud lain.

Ibu kaget dengan perubahan sikap Bruno yang menolak usapan lembutnya. Ia menoleh kepada Bu Yayasan seperti meminta arti dari keterangan itu.

Bu Yayasan yang tak sanggup menjawab, ikut berpaling muka dari tegasnya rahang wanita itu menghadap kebelakang.

Bruno bukan anak kecil yang akan percaya dengan orang yang selama ini selalu memintanya bermain petak umpet tanpa tahu pasti kapan akan usai. Dan Bruno menyadari jika wanita ini membuat suatu permainan dengan aturan sesuka hati.

"Bruno, kamu benci sama ibu?"

Dibalik palingan wajahnya, mata Bruno memerah. Ada perasaan campur aduk yang ia rasakan. Bruno sempat terkejut sesaat. Sejak kapan dia pandai mengatur ekspresi?

"Saya tidak ingin membenci seseorang. Hanya saja, saya sudah terlanjur kecewa sama ibu kandung saya sendiri. Jika sudah selesai dengan urusan Anda, tolong tinggalkan saya." Ucap Bruno.

Keinginan tersebut telah mencapai titik final. Ibu tidak boleh menawar apalagi menolak permintaannya.

Keputusan Bruno untuk mengakhiri ikatan darah dengan wanita itu sekarang adalah pilihan yang menurutnya sudah jelas-jelas bagus.

"Dan ... saya benci seorang yang egois." Sambungnya.

***

Bruno || Bang Yedam ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang