Dua Puluh Delapan

300 75 9
                                    

Rose

Telak. Rose bisa rasakan nyeri di ulu hatinya yang tidak lagi mampu ia kontrol. Tubuhnya jatuh terduduk di atas tanah berumput. Deru napasnya patah-patah seolah oksigen baru saja direnggut dari jagat raya. Ia mengais dan terus berusaha tapi apa daya, tubuhnya menyerah. Tidak ada lagi yang mampu ia usahakan di situasi genting semacam ini.

Berbeda dengan melawan wangsanya sendiri. Kali ini, justru lebih rumit. Ia bisa dengan cekatan menghafal bagaimana cara orang-orang Eropa bertempur. Tidak jauh-jauh dari senjata api. Baik sedekat nadi atau sejauh mata memandang sampai matahari tenggelam. Wangsanya tidak bakal berdaya tanpa meriam dan bubuk mesiu. Rose mencoba sekuat tenaga beradaptasi dengan apa yang tidak bisa mereka kalahkan. Sesuatu yang bisa melesat secepat cahaya tapi tidak mudah ditemukan dimana empunya. Senjata yang mampu melumpuhkan tapi tidak bersuara debum yang menggelegar. Busur dan anak panah jadi salah satu yang ia coba. Dari sekian banyak ilmu yang didapatkannya di tanah Hindia, ini yang paling pas.

Nyatanya ia juga punya kelemahan. Busur itu tidak mampu lagi melindunginya dari serangan jarak dekat yang justru tidak bersenjata. Sebatas sepasang tangan dan satu stel kebaya. Yang mengalahkannya justru bersanggul rendah dan berkamen senada. Wangsa yang dulu ia lindungi mati-matian kini tega menghentakkannya ke atas tanah. Sumpah selama sisa hidupnya yang bakal dihabiskan untuk melindungi seluruh tetes darah Basuki dan orang-orang yang menyertainya kini jadi tidak ada artinya.

"Mbok ndak mengira kalau ke juga bakal ikut bantu Basuki, Rose." Suara itu mendekat. Bersama dengan derap langkah kaki yang pelan-pelan menyentuh rumput pendek di hadapan. "Ngudiang(kenapa)?" tanyanya.

"Justru aku yang harusnya tanya kenapa, mbok," sela Rose, "kenapa mbok jadi ikut-ikutan rebutan Basuki?"

Mbok Taeyeong tidak menjawab.

"Mbok benar-benar menusuk Basuki dari belakang."

"Sejauh apapun hubunganku sama Basuki, aku tetap anggota dari Karangasem," jawab perempuah separuh baya itu. "Iya, kan?"

"Apa mbok selama ini mau mengasuh dia karena mau membawa dia ke Karangasem lebih dulu?" tanya Rose bukan pada siapa-siapa. Pertanyaan ini dibiarkannya mengambang tanpa jawaban. Karena memang bukan itu yang ia butuhkan. Seharusnya juga Rose tidak kecolongan. Harusnya justru ia sendiri yang peka terhadap orang-orang di sekitar Jeongguk yang tidak mau meminta imbalan atas apa yang sudah mereka usahakan untuk Basuki, untuk tanah Bali. "Memang baiknya dia ndak usah kembali ke Indonesia. Dia lebih aman di Netherland daripada bertemu sama kalian lagi."

Jeongguk

KALAU memang Tuhan masih sudi memberinya ampun dan bantuan, ia hendak bersimpuh dan meminta apa saja yang bisa Hyang Widhi kabulkan. Tenaganya habis digunakan untuk berpikir sepanjang jalan. Mengapa pula ia bertemu dengan seluruh kemungkinan tidak terduga yang membuatnya terkejut-kejut? Bambam masih bisa ia genggam. Seluruh keputusan dan tingkahnya bisa terbaca. Tapi mengapa harus muncul kejutan baru? Taeyeon dengan segala kasihnya masih hangat terasa di atas pelataran kulit. Lembut kecupnya di atas kening dan betapa seriusnya ia mendengarkan hampir seluruh keluh kesah Jeongguk yang sudah tidak punya siapa-siapa. Sendiri di dunia yang terasa asing. Bukan lagi Klungkung yang ia kenal.

Semakin diratapi, ia merasa kalau semakin bodoh. Ternyata benar apa yang Jeongyeon katakan, puluhan tahun yang lalu. Tidak satupun manusia bersedia bersanding dengannya tanpa syarat. Bahkan dirinya yang telah lama ada di satu tempat yang sama di sudut hati juga memilih pergi. Lebih baik menyenangkan orang tua, katanya. Sepanjang akhir abad keduapuluh, ia renungkan. Kiranya, apa yang sudah membuat orang sekitar masih memperlakukannya seperti telur naga emas berharga yang bisa kapan saja menetas dan mengamuk, membahayakan umat manusia. Bukankah sudah ia tinggalkan seluruh sifat kedengkian dan berusaha untuk menjaga orang-orang di sekitarnya supaya tidak lagi lari? Mengapa keputusan itu juga belum cukup untuk seluruh insan yang ia usahakan untuk ia jaga? Mereka memilih pergi dan mencari jawaban baru atas keberadaan Jeongguk yang diam saja. Alih-alih membiarkannya menikmati masa akhir hayat dengan tenang, mereka memilih untuk memperebutkan hak atas kulit bersisiknya yang sekeras batu.

Dewananda [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang