Prolog

269 8 0
                                    

Ketika teh panas mengeluarkan kepulan asap yang menari di atas cangkir, seakan menggelitik para saudara yang sedang bicara serius dibalik kedok acara minum teh keluarga. Di sore yang cerah sebuah meja bundar yang dikelilingi oleh dua adik-kakak terdengar ramai dengan canda tawa sesama mereka. Terlihat harmonis, layaknya sebuah keluarga super kaya raya dengan rumah luas yang sedang berkumpul menghabiskan waktu bersama. Kediaman mereka saja bukan main megahnya, sudah pasti layaknya tempat tinggal para raja dan ratu eropa.

Tapi, acara minum teh di halaman hijau membentang ini tak sebaik yang seperti orang awam bayangkan. Justru, inilah ajang mereka unjuk diri dan bicara mengenai tahta dibalik bahasa halus yang menyindir.

Nenek moyang mereka memang meninggalkan harta yang berlimpah kepada keturunan selanjutnya, tentu juga dengan tradisi turun temurun yang sudah diwarisi dari dahulu.

Namun siapa sangka ? Seberapa pun harta yang ditinggalkan, itu tidak akan bisa memuaskan sifat manusia yang rakus dan tamak. Sudah sebanyak itu kekayaan masih saja ingin menjadi yang paling berkuasa diatas segalanya. Itupun berlaku pada saudara yang saling berhubungan tali darah.

Ketegangan obrolan diantara pria ini mengendur ketika istri si adik bungsu meletakkan senampan kue keju ketengah meja. Wanita itu dengan eloknya memotong kue lalu menyuguhkannya pada dua orang pria yang masih sibuk dalam pembicaraan.

"Sayang, berhentilah menggoda kakakmu dan biarkan dia mencicipi kuenya"

Wanita itu mencolek bahu sang suami, sembari meletakkan sepotong kue dihadapan kakak iparnya.

"Ah sorry dear, aku lupa jika kau menghidangkan sesuatu"

Suaminya berkelit, lalu pria berambut coklat itu ikut menawari kakaknya untuk menikmati hidangan dari sang istri.

"Cicipilah kak, jika tidak Stephanie akan mencubitku jika sampai tehnya dingin karena aku terlalu lama mengajakmu mengobrol"

"Ah benar juga aku lupa menanyakannya, bagaimana kabar istrimu ?"

Pria yang merupakan anak sulung dari keluarga kaya ini mengambil cangkir tehnya sembari menatap sang adik dengan tatapan tajam.

"Dia baik-baik saja dan akan selalu begitu"

"Putrimu ?" Tanya si adik lagi pada kakaknya.

"Dia hebat, bahkan tingginya hampir sepinggangmu"

"Well, aku cukup senang jika mendengar keluargamu baik-baik saja. Kita mungkin sudah begitu lama tinggal di negeri ini, bahkan buyut kita yang agung Mathew Ledouma adalah orang kulit putih pertama yang sampai di negeri ini."

"Yah, dia memang ganas bahkan sampai mengais harta lalu menjadi orang asing terkaya disini, hartanya berlimpah bahkan seratus keturunan selanjutnya."

"Namun walau begitu, ia tak pernah mengotori darah bangsawan dan garis keturunan dengan bercampur bersama wanita pribumi"

Pria dengan nama lahir Dominic Ledouma itu seketika mengepalkan tangannya kuat, rahangnya mengeras saat adiknya sendiri menghina istri yang ia nikahi, mengingat sang istri merupakan seorang wanita asli negeri ginseng.

"Kapan-kapan ajaklah kakak ipar Kim Tae Hee kerumah ini, dia juga harus tau mengenal keluarga suaminya bukan ?"

Wanita anggun yang menyiapkan kudapan tadipun ikut menyongsong perkataan suaminya, ia setuju dengannya mungkin lebih tepatnya ia juga penasaran dengan istri dan anak si sulung keluarga Ledouma.

"Kali ini Marco berkata benar, mungkin membawa istrimu kerumah ini adalah ide bagus. Aku juga butuh bantuan sebagai satu-satunya nyonya bangsawan dirumah ini. Mengurusi rumah besar ini dan segala keperluannya membuatku pusing"

SJOUNAN [EBOOK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang