01

28 5 0
                                    

Sheila berjalan keluar dari gedung tempatnya melakukan perceraian. Wanita dengan dres hitam selutut dan cardigan coklat itu menghela napas dengan mata yang memandang sendu amplop di tangannya. Sungguh ia tidak menyangka akan menginjakkan kaki di tempat ini.

Tak selang lama keluar seorang pria dengan setelan kantorannya yang juga memegang sebuah amplop di tangannya. Sheila menatap kearah pria yang telah resmi menjadi mantan suaminya hari ini. Melihat wajah datar tanpa ekspresi pria itu membuat hatinya sakit. Bagaimana bisa wajahnya tetap seperti itu walau di hari yang seperti ini? 

“Apakah aku boleh bertanya padamu?” tanyanya yang dijawab dengannya anggukan oleh pria itu.

“Apa saat kita menikah kamu mencintaiku?” 

Pria itu akhirnya memandang Sheila, “tentu.” Suaranya yang berat terdengar di telinga wanita itu.

Sheila mengangguk, “lalu, apakah sekarang kamu masih mencintaiku?” Sheila menggigit bibirnya begitu pertanyaan kembali terlontar dari mulutnya.

Pria di depannya terdiam hanya menatap matanya tanpa ada niat untuk menjawab. Karena tanpa dijawab wanita itu telah tahu jawabannya. Melihat itu, Sheila terkekeh pelan. “Tentu saja sudah tidak, kalau iya tidak mungkin kita berada di sini sekarang. Bodohnya aku.” Senyum miris tidak dapat terelakkan dari wajah wanita itu.

Sheila kemudian mendongak menatap tepat pada mata mantan suaminya itu. “Terimakasih atas kebersamaan kita selama tiga tahun ini. Semoga ini yang terbaik untuk kita.” Setelah mengatakan itu ia berbalik pergi. 

Baru tiga langkah kakinya melangkah, Sheila berhenti, “Aku harap kita tidak bertemu lagi.” Ujarnya dingin. 

Kemudian kakinya benar-benar melangkah pergi meninggalkan sang pria yang pernah dia sangka sebagai pasangan seumur hidupnya ternyatan hanya pasangan tiga tahun yang membosankan. Apa kini ia menjadi janda? Haha, Sheila tidak menyangka mendapatkan status seperti itu.

-Sheila-

“Bagaimana rasanya menjadi seorang janda?” tanya wanita yang mengenakan kemeja coklat dan celana jeans. 

“Hem, tidak terlalu buruk,” Sheila menjawab seraya tangannya meraih segelas susu coklat dingin. 

Nata diam memandang Sheila yang terlihat berusaha tegar.  Sebagai sahabat, Nata tahu betul bagaimana Sheila begitu mencintai mantan suaminya. Walau pun rumah tangga mereka tidak lebih dari orang yang tinggal satu atap. Begitu dingin dan tidak bernyawa.

“Are you okay?” tanyanya.

Sheila tersenyum tipis. “Bohong kalau aku bilang baik-baik saja.” Helaan napas keluar dari mulutnya, Sheila menyandarkan tubuhnya di kursi. “Tapi sepertinya ini keputusan yang terbaik. Sudah cukup aku menahannya selama tiga tahun ini. Sekarang, dia dan aku, akhirnya terbebas dari penjara yang kami buat sendiri.”

“Bagaimana bisa itu disebut penjara? Bukannya kalian menikah karena saling mencintai? Bukan salahmu jika dia sudah tidak mencintaimu lagi.” Nata berujar dengan emosi yang tertahan. Selama ini dia selalu mendengarkan curhatan sahabatnya tentang betapa dinginnya suaminya padanya. Suaminya yang perlahan berubah dan tidak sama seperti dulu lagi. 

Sheila hanya tersenyum tipis. 

Nata yang merasakan kesedihan Sheila mencoba untuk mencairkan suasana. “Ah, akhirnya aku tidak lagi mendengar curhatan tentang lelaki bodoh itu.”

Sheila tertawa pelan, “maaf jika curhat ku selama ini membuatmu bosan.”

“Hem! Kau menyadarinya rupanya.”

Dua wanita itu kemudian tertawa bersama. Sheila beruntung sekali memiliki sahabat seperti Nata yang selalu ada disisinya dan selalu mendukung di pihaknya. Jika tidak ada Nata, entah pada siapa Sheila berkeluh kesah, mengingat dirinya hanya sebatang kara di dunia yang luas ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 09, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SheilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang