Mau ketemu Kak Solar, kan?

239 24 5
                                    

"Loh, Angin. Kenapa nangis?"

"Uwaaaa!"

"Petir, kenapa sama adikmu?"

"Tadi di sekolah dia ditolak."

"Hah??" Wanita paruh baya itu hanya bisa bengong untuk sesaat.

"Nek Tria, apa Angin nyebelin?" Angin menghirup ingus yang melaju kencang dari lubang hidungnya.

Mendapatkan pertanyaan seperti itu tanpa aba-aba tentunya membuat sang nenek makin mengerutkan kening. Rambut merah panjangnya yang diikat rendah bergoyang seiringan dengan gelengan kepalanya.

"Angin cuma nyebelin kalau lagi gak nurut." Nenek lantas membalas.

"Apa kenalan sama orang itu, gak nurut?"

"Kenalan?"

"Tadi Angin mau kenalan sama anak pendiam di kelas. Namanya Cahaya. Tapi dia malah bilang benci kami, terus lari." Petir mewakili.

"Begitu, ya."

Sejauh yang ia tahu, cucunya, Angin, adalah kebalikan dari seorang pendiam. Kakinya tidak pernah berhenti berlari, sedangkan mulutnya tidak pernah berhenti mengoceh. Anak itu akan mengajak siapapun bicara demi mengusir rasa bosannya.

"Memangnya, Cahaya sedang apa tadi? Kalian mengganggu dia?"

"Hiks, tadi Cahaya lagi main magnet. Angin deketin dia, tapi dia bilang benci Angin! Huwaaa!"

"Cup, cup, cup."

Satriantar menghapus ingus yang mengucur lewat lubang hidung Angin dengan sapu tangan yang ia simpan di saku. Petir di sisi lainnya hanya memandang datar tanpa berniat ikut campur.

Sang nenek sengaja tidak menggendong cucunya meskipun ia melolong di sepanjang jalan pulang ke rumahnya. Wanita itu percaya bahwa membiarkan anak lelah sendiri dengan tangisannya akan membuat mereka sadar betapa tidak bergunanya aksi itu. Walaupun, sebagai hasilnya, mereka mendapat tatapan dari setiap manusia yang mereka temui di jalan.

Mereka tiba di sebuah rumah kecil dengan tangga yang menghubungkan trotoar dengan terasnya. Satriantar membiarkan kedua cucunya duduk di ruang tengah sementara ia ke dapur untuk mengambil beberapa cemilan.

"Oi, sudah nangisnya. Kasihan Nenek, telinganya bisa pecah kalau dengar kau nangis terus." Petir yang jengah mendengar tangis saudaranya angkat bicara.

"Uwahh! Besok aku harus bilang apa ke Cahaya?!"

"Entah. Bilang aja, 'aku juga gak mau berteman sama anak songong kayak kau'."

"Yang ada dia makin benci!'"

Angin kini berpindah posisi dari duduk menjadi terlentang di atas karpet. Menghadap langit-langit yang kurang-lebih lima kali usianya, air matanya membasahi kanan-kiri wajah hingga ke telinganya. Suaranya mulai serak, terbukti dari bunyi batuknya yang lemah.

"Angin, minum dulu. Tenggorokanmu bisa radang kalau teriak terus," sanggah Satriantar yang sudah kembali dengan membawakan dua gelas air.

Satu gelas berisi air manis disuguhkan ke Petir, yang mana langsung ia teguk hingga habis setengah. Sementara itu, untuk satunya lagi, ia harus memangku kepala Angin demi memberinya cairan pengganti air mata.

Helaan napas keluar dari bibir yang pada dasarnya berbentuk lengkungan ke bawah. Jemari ramping Satriantar menyelip ke bawah helaian poni Angin, lantas menyisirnya ke atas kening. Saat tangannya berhenti di sana, panas yang berkumpul di kening anak itu merambat ke kulitnya. Angin sudah menangis lama sekali sampai wajahnya merah membara.

Setelah cukup minum, tidak ada lagi jeritan. Yang ada adalah isakan Angin yang belum juga berniat menghentikan tangisnya. Suaranya nyaris habis, terurai lemah dan putus-putus.

Surga Khayal (DuriSol/ThoLar)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang