3 - Takut

10 2 0
                                    

Aira membuka pintu rumahnya. Dia menemukan Ferra yang tengah memeluk foto Inez. Dia menangis sejadi-jadinya. Saat Ferra menyadari kehadiran Aira, dia lalu mendekatinya.

Pandangan Aira menghitam. Telinganya menjadi tuli. Perkataan tajam itu tak dapat didengarnya. Yang jelas, Ferra tengah menyalahkannya.

"Andai saja, saat itu aku dapat memperhatikan Inez lebih dekat... Pasti semua ini tidak akan terjadi," kata Ferra dengan pelan. Dia tersenyum sambil memoles wajah Aira. Bagi Aira, senyuman itu menakutkan. Ferra lalu meraba kepalanya hingga pucuk rambut.

"Andai kamu tidak ada... Semua akan baik-baik saja... Tak ada yang menginginkanmu... Anakku, jangan berharap lebih." Suara lembut itu menusuknya. Aira ingin pergi.

"Akhh!" Pucuk rambut Aira terjambak. Tidak ada rasa segannya sama sekali. Ferra menjambak rambut anak bungsunya itu seakan ingin mencabut hingga akar-akarnya.

"Kau itu pembunuh, sayang... KAU DENGAR ITU?! KAU PEMBUNUH, ANAK SAMPAH!"

Air mata Aira mengalir. Kakak yang sangat dia sayangi. Ibunda yang sangat dia sayangi. Keluarga yang berharga. Kini, semua itu telah hancur.

Jangan berharap lebih, begitulah kata yang terus berdengung di telinganya.

"Ma-maaf... Maaf... Maaf karena telah menghancurkan semuanya." Dengan sesenggukan, dia memohon ampun pada Ferra. Ferra melepaskan cengkraman rambutnya. Aira mengangkat kepalanya, dia tak menyangka Ferra akan mengampuninya.

Plak!

Ferra menampar pipi kiri anaknya, "Kamu pikir maafmu akan mendatangkan kembali anak tercintaku?!" tanya Ferra. Lalu dia mengulangi tamparannya.

"Kamu pikir, suamiku akan kembali?! Maafmu tidak berguna. Seharusnya kamu mati!" Aira memandang mata sang ibunda. Ibunda yang sangat penyayang dan baik hati, sudah hilang dari hadapannya.

Tidak. Aira tidak dapat menyalahkan sang ibunda. Ini memang salahnya. Gara-gara dia yang sangat menempel pada Ferra kala itu, membuat Ferra jarang memperhatikan Inez.

Apakah Aira membenci Inez? Tidak, walaupun akhirnya Ferra mengharapkan Inez kembali dan tidak menginginkannya. Dia sangat menyayangi kakaknya. Kakaknya sangat baik. Begitu banyak memori indah yang diberikannya. Dia ingin berteriak pada kakaknya untuk kembali, bahwa dialah yang diinginkan sang ibunda. Dan dialah yang pantas untuk pergi.

Aira terus merapalkan kata maaf. Dia menahan air mata yang terus mengalir. Dia memohon pada Tuhan untuk segera mencabut nyawanya dan menggantinya dengan kakaknya. Namun, hukum alam tak mendukungnya.

"Keluar dari ruanganku, aku tak ingin melihat wajahmu," usir Ferra dengan dingin. Aira mengusap air matanya lalu bangkit dari duduknya.

***

Aira meraba wajahnya yang memar. Dia meringis ketika rasa sakit berdenyut-denyut. Dia tidak memiliki obat untuk mengobati lukanya. Dia lalu memutuskan untuk keluar mencari angin.

Aira menghela napasnya. Dia menatap langit sore itu. Dia tengah berada di atas bukit belakang sekolah. Aira mencintai kesunyian ini.

Aira mencengkram rerumputan di sekitarnya sambil merenung.

"Kenapa ya? Bunda tega banget pukul adek? Kakak... Adek kangen banget. Bunda benci adek, bunda gapengen adek hidup. Kakak jangan lama-lama ya perginya, bunda udah kangen banget." Aira meringkukkan badannya. Dia menenggelamkan wajahnya di lututnya.

"Kamu ngapain sendirian di sini?" tanya seseorang. Suaranya terdengar seperti anak perempuan seumurannya.

Aira menengok ke belakang. Dia hanya menatap orang itu dengan sendu. Orang itu berambut panjang coklat, rambutnya tergerai keriting. Perempuan itu menggandeng seorang anak kecil.

Mencari Harapan 「ONGOING」Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang