Derap langkah kaki menginjak lintasan lari. Rombongan berkaos putih yang dirangkap jaket merahnya berlari menyusuri lapangan olahraga. Celana training merah itu meninggalkan sedikit bercak noda. Hal tersebut menandakan, mereka sudah berkali-kali memutari lapangan itu.
"Mau pingsan ... Aku gakuat ... " Kepala Aira berputar-putar. Tadinya dia begitu percaya diri saat mulai berlari. Namun, yang tadinya kaki itu ringan, kini justru lambat laun memberat. Tubuhnya sempoyongan. Jalannya sudah tak beraturan.
Grep.
Bahu Aira dipegang oleh seseorang, "Eh?"
"Bandel, udah dibilang sarapan dulu," tegur Afgan. Dia mengajak Aira menuju pinggir lapangan. Sebelumnya, dia sudah meminta izin kepada Pak Anton.
Aira terus bergerak dengan risih. Sejak tadi Afgan terus memegangi pundaknya. Dengan cepat, lelaki itu melepas kedua tangannya. Dia lalu memberikan air mineral yang tadi pagi dia beli di kantin. Aira menganggukkan kepalanya sembari berterimakasih. Air dari botol itu dalam hitungan detik langsung tersisa setengahnya.
Sementara itu, Afgan memilih melanjutkan berlari. Dia sudah ditunggu oleh temannya, Pandu. Pandu memukul tengkuk temannya itu.
"Akh! Apaan dah?!" Rasa ngilu bersarang di tengkuk Afgan. Dia melayangkan tatapan tak suka pada teman biadabnya itu.
"Baru juga tahun pertama, kamu sudah dapat cewek, juga. Ckckck," goda Pandu. Seketika, pipi lelaki di depannya bersemu merah seperti tomat yang baru matang.
Pletak!
Kepala Pandu terasa sakit karena pukulan seseorang. Saat kepalanya diangkat, pelaku kekerasan itu sudah sempurna menekuk bibirnya ke bawah dengan sedikit menggigitnya.
"Mampus! Makanya punya mulut jangan lemes-lemes amat!" Sumpah serapah keluar dari mulut Afgan. Dia lanjut berlari sebelum Pak Anton menghampiri mereka berdua.
"Mereka kenapa?" tanya Aira sambil memberikan sebotol air mineral pada sahabatnya. Dara yang baru selesai berlari menengok ke arah monyet-monyet itu. Para siswa lelaki masih belum selesai berlari. Dia melihat Afgan dan Pandu yang masih beradu lari. Motif mereka hampir sama, tetapi beda. Afgan tidak terima kala Pandu menggodanya. Sedangkan, Pandu masih dendam karena kepalanya benjol.
"Biasa, itu mah urusan cowok," jawab Dara sambil merangkul Aira. Dia lalu menerima botol air mineral itu.
"Mau bakso?" celetuk Dara tiba-tiba.
"Boleh."
Pak Anton tiba-tiba sudah berada di depan mereka. Hawa menyeramkan menusuk jantung. Kedua tangan guru itu disilangkan. Sepatu olahraganya sudah mengetuk-ngetuk ke jalanan bersemen.
"Maaf, Pak. Maksud kami, kita mau ... emm ... Ba- balapan! Ya, balapan lari. B-biar sehat, ya, kan, Aira?" Keringat dingin Dara mengucur.
"Ha? Katanya mau makan bakso? Aku juga dah capek tahu lari-lari. Kalau sampai pingsan kamu yang tanggung jawab. Lagian, kayak kata Afgan tadi, aku belum sarapan," cerocos Aira tanpa dosa.
Dara menepuk jidatnya, polos keserempet bego! batinnya. Yah, seorang Aira memang sulit diajak berbohong. Memang, sih, selalu berkata jujur itu hal yang bagus. Namun, terkadang ada saat-saat di mana lebih baik mereka berbohong demi keselamatan diri.
"Kalian punya handphone, kan? Bisa lihat sekarang jam berapa? Aduh, atau minimal kalau sedang tidak bawa, sekolah juga punya jam dinding. Nempel semua itu di setiap sudut sekolah! Jam berapa sekarang? Memangnya sudah waktunya istirahat?" omel Pak Anton. Aira dengan cepat menutup telinganya. Ah, dia benci diomeli.
"Maaf, Pak. Namun, setau saya jam dinding sekolah belum diisi baterai yang baru." Aira meluruskan perkataan guru olahraganya. Dia lalu menunjukkan kalau di jam dinding tertera pukul 5.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mencari Harapan 「ONGOING」
Teen FictionHarapan tentang orang terkasih. Kupu-kupu yang telah terluka kembali terbang. Orang yang paling disayangi Aira pergi untuk selamanya. Setelah itu Bunda dan Ayahnya mengabaikannya. Satu persatu orang yang dia sayangi juga menjauh bahkan menghilang...