••
•
•
Selamat membaca♥️
°°°°°
Tiga pasang mata kini tertuju pada raut wajah Mirza yang tidak bisa disimpulkan. Setelah mengunjungi pesantren tadi Mirza tidak pernah lagi bersuara sampai saat ini. Hanya ada mata yang sembab serta suara piluh yang sedikit terdengar.
Hal yang membuat ketiga orang yang berada di dekat Mirza merasa gelisah adalah saat pria itu mengatakan bahwa ia ingin putus asa dengan keadaannya sekarang.
"Mirza ...." Suara Raden memecah kehening, sang pemilik nama tersebut lantas menoleh dan tersenyum kecut.
"Rasanya pengen banget mati. Dituduh melakukan kejahatan, padahal gue gak ngelakuin itu. Belum lagi status gue sebagai buronan, udah kayak penjahat bintang lima aja. Polisi sialan!" Mirza membuang napasnya cukup panjang hingga membuat Radit yang duduk disampingnya memegang bahunya sembari memberikan semangat.
"Za, kita---"
"Jangan menyela. Gue lagi curhat, anjir!!" bentak Mirza.
Pria itu kembali menghempaskan napasnya dengan kasar. "Bukannya gue mau lari dari kejadian malam itu, kaki gue salah arah. Tadinya mau ke asrama, eh, malah belok ke pintu gerbang. Pengen gue mutilasi aja, nih, kaki!"
Jujur, setelah mendengar penuturan Mirza, ketiga pria yang sedari tadi memperhatikannya langsung merubah raut wajahnya menjadi datar.
"Entah kenapa, penyesalan selalu datang di akhir. Kenapa gak dari awal aja, biar gue bisa menyesuaikan gimana alurnya nanti. Andai saja gue bergerak saat itu, Raihan gak mungkin terluka."
"Tapi, langkah gue buat kabur malam itu sudah tepat. Gue jadi tau semuanya."
Mirza beralih menatap satu persatu temannya yang masih setia mendengar segala ucapannya. Dan setelah itu, ia tertawa hambar yang membuat Raden, Sergio dan Radit mengerutkan keningnya.
"Gue gak pernah nyerang Raihan apalagi melukainya. Walaupun gue sangat membencinya, tidak ada satupun niat gue buat melukainya."
"Gue gak ngelakuin apa-apa malam itu! Bukan gue yang nyerang Raihan!"
Tekanan suara Mirza yang sedikit mempertegas kalimatnya tersebut membuat teman-temannya mendekap. Setiap ucapan yang Mirza lontarkan hanya untuk membela dirinya yang tidak salah.
"Za, tanpa lo katakan itu, kita percaya kok," sahut Raden.
Senyum kecil di bibir Mirza mulai terbit, ia akui ketiga temannya itu adalah hal yang sangat ia syukuri. Selain memberinya tempat untuk ia pulang dan bercerita, mereka juga merupakan hal dimana dirinya bisa mendapat kepercayaan dan semangat.
Bisa dibilang mereka bukan teman bagi Mirza, tetapi sudah lebih dari itu. Tidak bisa dikatakan saudara karena mereka lebih dari itu juga. Pertemanan yang cukup lama, kesetiaan mereka bersamanya merupakan sesuatu yang sangat berharga dalam kehidupan Mirza, karena hanya mereka yang masih berada sekarang disaat keluarganya pergi dan meninggalkannya.
Lantas bagaimana jika salah satu dari mereka adalah seorang pengkhianat?
"Kalian tau, siapa yang membakar gedung asrama dan membunuh santriwati itu?" tanya Mirza.
Raden, Radit maupun Sergio menggeleng. Keheningan sementara itu membuat Mirza menarik napasnya sangat dalam sebelum menjawab pertanyaannya sendiri.
"Gue akan beri tau jawabannya, tapi gue gak yakin kalau kalian percaya," ungkapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Sekedar Santri
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] [ON GOING] Belum di revisi Pria dengan kopiah hitam dikepalanya yang sedikit miring tengah memandang satu bangunan yang cukup besar di hadapannya. Sarung yang tadinya ia pakai kini berada dilehernya dan bergelantungan bebas...