Plak.. Tamparan mulus mendarat dipipi Melody, Gadis itu hanya diam tertunduk. Telinganya panas mendengar ucapan pedas sang papa.
Sepulang sekolah Melody disambut wajah marah sang papa, Membuat nya siap menerima hukuman nya. Melody seakan lupa mengontrol emosinya hingga membuat keributan disekolah, tentunya pihak sekolah lah yang memberi tahu hal ini.
"Dasar pembangkang! mau jadi apa kamu hah! kamu pikir jagoan dengan berantem seperti itu!! kamu ini perempuan, bikin malu keluarga saja!" Murka Zen, papa Melody.
"Contoh adik kamu!! dia mampu membanggakan keluarga dengan berbagai prestasinya! dia cantik, dia pintar!! tidak sepertimu yang dari dulu selalu mengecewakan papa!!" Imbuhnya, seakan tak perduli bahwa ucapannya menyakiti putri pertamanya.
Melody mendongak, matanya berkaca-kaca. "MELODY JAUH LEBIH KECEWA SAMA PAPA!! PAPA GAK PERNAH MENGERTI MELODY, PAPA SELALU DI PIHAK NEYRA! MELODY JAUH LEBIH KECEWA PA, selama ini Melody cuma diam, dibanding-bandingkan sama Neyra. Melody cuma diam pa! apa papa tau perasaan Melody?! apa Papa tau betapa hancurnya Melody pas waktu menerima ijazah SMP dan Papa gak hadir?!" Nafas Melody memburu, dadanya naik turun. Emosi yang terpendam menguap melalu air matanya yang merembes keluar. Meluapkan segala sesak yang selama ini ia pendam sendirian. Akhirnya ia ungkapkan.
" MULAI BERANI KAMU MELAWAN?! Jangan karena kebebasan yang papa beri, kamu jadi anak pembuat onar seperti ini. Mulai sekarang Papa akan mengatur semuanya, Seminggu ini kamu papa kurung dirumah! Ngerti kamu?!" Sarkas Zen tak ingin dibantah, urat-urat kemarahan jelas menonjol dilehernya.
Lagi, Melody tak sanggup melawan. Ia hanya tertunduk lagi. Papa nya memang tidak akan mengerti, begitupun mama nya.
"Iya pa." Hanya itu, hanya itu yang mampu Melody ucapkan. Pipinya terasa kebas, gadis itu menahan tangis yang siap tumpah. Hatinya sesak, ia hanya butuh pelukan.
Pria paruh baya dengan setelan kantor tersebut pun berlalu, keluar dari rumah megah ini dengan wajah murkanya.
Melody menatap nanar punggung pria tersebut, berlari menuju kamarnya dan membanting pintu dengan kencang.
Melody terduduk menekuk lututnya, dan menangis dalam diam. Isakannya teredam disntara kedua tumpuan tangannya. Otaknya memutar kilas balik masa lalu itu.
Selalu seperti ini, ia bencii. Melody merasa tidak berguna, Melody merasa dirinya selalu kalah jika sudah menyangkut Neyra. Adiknya itu sempurna, selalu punya segalanya. Kasih sayang selalu dilimpahkan ke Neyra, membuat Melody kadang iri.
Melody tinggal dirumah ini sendiri, menanti kepulangan kedua orang tuanya. Meski hanya sebatas mimpi, lihat? mendengar kabar Melody membuat ulah papa nya bahkan sampai rela pulang jauh-jauh dari LA hanya karena Melody membuat ulah.
Melody tertawa miris, sebegitu tak perduli kah mereka. Apa papa tidak pernah menanyakan perasaannya? atau sekedar kabar? jawabannya tidak pernah.
Melody bahkan lupa sudah berapa lama ia jauh dari keluarganya, sedari SMP ia selalu merasa sendiri dan asing.
Padahal Melody sudah berusaha semaksimal mungkin, berusaha belajar menyaingi Neyra. Berharap kedua orang tuanya beralih sejenak ke arahnya. namun beribu usahanya ternyata sia-sia, nyatanya Kedua orang tuanya hanya mengharapkan Neyra. Bukan dirinya.
Jelas, Neyra cantik. Dulu sewaktu SMP Melody tak pandai merawat diri, hingga membuatnya dikucilkan keluarga serta teman sekelasnya.
Bullying, Melody selalu mendapatkan hal itu. Tamparan, hinaan, tak hanya luka fisik Melody juga terluka hatinya.
Sedari kecil Neyra selalu unggul segalanya, dibanding Melody. Hingga membuat kasih sayang itu berpaling, bukankah setiap anak memiliki potensi masing-masing. Tugas orang tua sepatutnya mendukung bukan malah seperti ini, Melody pintar hanya saja selalu kalah jika menyangkut Neyra.
Melody masih terisak, memukul kepalanya yang berdenyut nyeri. Entah sudah berapa lama ia menangis, dapat dilihat dari gorden matahari yang terbenam sepenuhnya, digantikan malam yang gelap.
Melody termenung, tatapannya kosong. Hingga Suara dering ponsel menyadarkannya, Melody bangkit meraih ponsel dinakas.
Tertera panggilan dari Arlan, kekasihnya. Melody tersenyum kecil, Arlan membawa warna baru dalam hidupnya. Meski ia masih tak menyangka dicintai pria setulus Arlan. Akankah ia percaya dan membuka hatinya?
"Hallo?" Suara parau menyapa indra pendengaran Arlan disana, dahi lelaki itu berkerut bingung.
"Gue didepan rumah lo, buka dong pintunya." Nadanya jenaka, terdengar rengekan pula. membuat Melody terkekeh pelan.
Melody pun mematikan panggilannya berlari menuju kamar mandi,membasuh wajahnya yang sembab. Bekas tamparan masih terlihat jelas dipipi putih gadis itu, seakan melupakannya Melody turun membukakan pintu untuk Arlan.
Arlan tersenyum manis andalannya, sembari menenteng paperbag berwarna coklat.
"Malam kekasihku! Pangeran datang kemari membawakan brownis dari sang baginda ratu, katanya untuk calon menantu. Jadi bolehkah kakanda masuk kekasihku?" Melody terbahak, matanya menyipit. Sedikit hiburan dari lelaki itu mampu membuat perutnya tergelitik.
Melody pun meredakan tawanya mempersilahkan lelaki itu masuk, Melody pun menutup pintu.
"Haus nih Mel, bikinin coklat panas dong." titah Arlan dengan tampang bossy nya, namun tak urung Melody pun berlalu ke dapur membuatkan lelaki itu minum.
"Nih." Asap panas mengepul dicangkir berisi coklat panas tersebut. Arlan tersenyum, menatap Melody yang kini duduk disampingnya.
"Tante Mita buat brownis?" tanya Melody.
"Pipi lo masih sakit? kok tambah merah, itu juga berdarah bibir lo. Jawab gue, siapa yang nampar lo?!" todong Arlan, menelisik wajah Melody. Sejenak lelaki itu merasa ada yang janggal.
Bukannya menjawab pertanyaan Melody, Lelaki itu justru malah balik bertanya.
Melody gelagapan, seakan tertangkap basah. Gadis yang biasanya jutek itu membuang arah, meremas tangannya gugup.
"Jawab gue Mel!"
"Ditampar Papa.." cicit Melody menunduk menatap jari-jarinya yang bertaut gugup. Tak melihat respon Arlan, Arlan justru tertegun. Rahangnya mengetat pertanda lelaki itu sedang emosi.
"Gue kompres," Ujar Arlan dingin, berlalu menuju dapur. Mengambil es batu, beserta Kotak P3K.
Arlan mengompres lebam dipipi Melody pelan, wajahnya datar. Dalam netranya tergurat ke khawatiran, dan juga kecewa. Arlan tahu sedikit tentang pria arogan yang menjadi papa Melody.
Hanya sedikit tahu permasalahan yang dihadapi gadisnya, selebihnya Arlan tak ingin ikut campur masalah leluarga Melody. Namun, menurutnya ini sudah keterlaluan.
Bukankah papa yang bijak bisa bertanya sebelum menuduh? Lagipun ini bukan sepenuhnya salah Melody.
"Lo anggap gue apa Mel?" ujar Arlan lirih, menatap Melody sendu.
"Ma-maaf.."
"Kalau aja gue gak kesini, lo pasti gak akan mau cerita dan terus terang ke gue. Gue tau, dari awal lo gak pernah ada rasa sama gue. Gue yang maksa lo jadi pacar gue, tapi Mel gue cuma mau lo berbagi sedikit. Jangan apa-apa dipendam, gue gak mau lo kenapa-kenapa, gue gak suka liat lo luka." Lontaran kalimat panjang Arlan mampu menghangatkan hati Melody yang beku, pertahanan gadis itu runtuh. Air matanya merembes keluar.
Arlan menarik gadis itu ke pelukannya, membiarkan Melody menangis sepuasnya. Menumpahkan segala sesak yang didera, hati Arlan ikut tersentil mendengar masa lalu Melody.
Sadd brutal:(
komenn nextt guyss!
cek typoo juga yaa, ini lngsng ku publish soalnya.jngn lupa tinggalkan votenya dear!! anti silent readersss..
follow my instagram: ravelchann
see you the nextt partt!!

KAMU SEDANG MEMBACA
Arlan & Melody
Teen Fiction"LANDAKKK!! BALIKIN TAS GUE!" pekik Melody kesal, terus mengejar lelaki yang membawa ranselnya. "Jadi pacar gue dulu, nanti gue balikin!" "Ogah!" "Yaudah kalau gitu, gue sangkutin ke genteng aja.." "Ihhh landak!" "Gue biayain skinker lo, asal lo h...