Bab 1. PAGI KELAM DAN SENYUMAN

213 36 2
                                    

      "Semenyenangkan langit di pagi hari

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

      "Semenyenangkan langit di pagi hari.
Kamu selalu punya cara untuk membuatku tersenyum, kapan pun, di mana pun, dalam kondisi apapun."

*****

PRANGGG!

PRANGGG!

Suara pecahan kaca dari kamar sebelah terdengar memekakkan dikedua telinga Bumi.

"MAU DURHAKA SAMA SUAMI, HAH?! SAYA CUMA MINTA UANG KAMU LUNA!"

"UANG UANG UANG! YANG KAMU PIKIRIN CUMA UANG!
KAMU PERNAH MIKIR GAK SIH? SUSAHNYA AKU CARI UANG? CAPENYA AKU BANTING TULANG BUAT BIAYAIN HIDUP BUMI?!"

"BUMI ANAK KAMU! BUKAN ANAK AKU, LUNA!"

"SEENGGAKNYA KAMU PUNYA TANGGUNG JAWAB SEBAGAI SUAMI, RIAN!"

Pertengkaran yang setiap hari selalu menghiasi rumah berlantai dua ini sangat memuakkan bagi Bumi.
Pertengkaran yang tidak akan ada habisnya, dan ucapan dari laki laki yang selama 17 tahun ini ia anggap sebagai papa nya masih belum bisa Bumi terima.

Kenyataan bahwa ia bukan anak dari Rian,
Kenyataan bahwa ia bukan anak yang di inginkan,
Kenyataan bahwa kehadirannya tidak pernah diharapkan.
Cukup membuat Bumi sadar kalau ia memang tidak pantas menerima kasih sayang dari kedua orang tuanya.

Fakta yang terungkap satu bulan lalu, saat papanya sedang mabuk dan bertengkar hebat dengan mamanya, masih belum bisa Bumi terima. Fakta itu masih sangat menyayat hati Bumi, masih sangat sakit jika kembali diingat.

Flashback on

"KERJAAN KAMU CUMA JUDI, MABOK, ABISIN UANG AKU! KAPAN SIH KAMU PUNYA TANGGUNG JAWAB ATAS HIDUP AKU DAN BUMI?!"

Rian terkekeh, tubuhnya sempoyongan akibat efek dari alkohol, bau alkohol yang berasal dari tubuh Rian sangat menyeruak di indera penciuman Luna. "Apa maksud mu, Luna? Kamu bercanda? Kenapa aku harus bertanggung jawab atas hidup anak tidak di inginkan itu?"

"DIA ANAKMU JUGA RIAN!!"

Rian tertawa renyah. Tawa yang terdengar sangat menyebalkan di kedua telinga Luna. "Anak ku? Sejak kapan? Bukan nya kamu juga tidak pernah tahu siapa ayah dari anak itu?"

"JAGA UCAPANMU RIAN!!"

"Benar bukan? kamu tidak pernah tahu siapa ayah Bumi?"

"RIAN!!!"

Cukup.
Bumi sudah tidak kuat lagi mendengar semua ungkapan menyakitkan itu.
Tangan nya meraih knop pintu, berjalan tergesa menuju lantai bawah dengan air mata yang tidak bisa ia bendung lagi.
Bumi harus memastikan kalau semua ucapan yang di lontarkan Papa nya hanya sebatas bualan orang yang hilang kesadaran karena efek alkohol, bukan sebuah kenyataan yang nanti nya mau tidak mau, sanggup tidak sanggup, harus ia terima.

"Papa bercanda kan?" Tanya Bumi setelah sampai di lantai bawah, ia memegang kedua tangan Rian, "Bumi anak Papa kan? Ayo Pa, Bilang kalau semua omongan Papa cuma bercanda aja kan? Iya kan?"

Rian menghempaskan tangan Bumi hingga gadis itu tersungkur di lantai, tangan kekar nya mencengkeram erat dagu gadis itu yang kedua bola matanya sedang menjatuhkan rinai nya.
"DENGAR INI, SAMPAI KAPAN PUN KAMU BUKAN ANAK SAYA, KAMU BUKAN DARAH DAGING SAYA, DAN SAYA SAMA SEKALI BUKAN PAPA KAMU, MENGERTI?!"

Hancur.
Dunia Bumi seakan akan berhenti berputar detik itu.
Harapan Bumi akan ucapan Papa nya yang hanya sebatas bercanda pupus saat itu juga.
Ini fakta kan?
Tuhan, kenapa semenyakitkan ini?
Kenapa sangat menyayat hati sekali?
Kenapa ini harus terjadi?

Apa yang lebih menyakitkan dari terungkap nya sebuah fakta bahwa Bumi bukanlah anak dari laki-laki yang selama ini ia anggap sebagai cinta pertama nya? Walau selama Bumi hidup Papa nya tidak pernah menunjukan sikap baik, tidak pernah memberikan kasih sayang secara utuh layak nya seorang ayah, tapi Bumi akan tetap anggap Rian sebagai cinta pertama nya, cinta pertama seorang anak perempuan.

Lantas, kenapa harus ada fakta semenyakitkan ini, Tuhan?
Kenapa harus Bumi yang menerima fakta ini?
Kenapa harus seperti ini jalan takdir nya?
Sakit, sakit sekali, Tuhan.

Flashback off.

Sepasang sepatu hitam itu terus melangkah mencoba untuk menghiraukan segala teriakan teriakan yang hanya memekakkan ditelinga.
Keluar dari rumah yang sekarang hanya seperti sebuah neraka bagi nya, tidak ada kenyamanan, tidak ada kehangatan, tidak ada cinta, tidak ada kasih sayang.
Rumahnya bukan lagi definisi tempat pulang paling nyaman, karena ia akan selalu merasa sepi, merasa sendiri jika berada didalam nya.

Kedua bola mata coklat itu menangkap pemandangan didepan gerbang rumah nya.
Sosok laki-laki berbadan tegap yang dibaluti oleh jaket jeans hitam kesayangan nya, Rakala Syam.
Laki-laki pemilik bola mata hitam pekat namun meneduhkan.

"Pantes pagi ini mendung, yang punya senyum manisnya lagi murung ternyata." ucap Rakala saat gadis cantik yang menggerai rambut sepunggung nya itu sudah sampai dihadapan nya.
"Are you okay?"

"Bad morning, La."

"Why?"

"Seperti biasa. Perdebatan yang gak akan ada ujung nya, gue muak." Ucap Bumi menghela nafasnya, "Gue muak setiap hari dengerin perdebatan mereka yang itu itu aja. Hati gue masih sakit denger fakta kalau gue bukan anak Papa, sakit, La. Sakit banget."

Bumi menundukan kepala nya, bersamaan dengan air mata yang jatuh di kedua pelupuk bola mata nya.
Bohong kalau dia udah gak sakit,
Bohong kalau dia udah gak hancur,
Bohong kalau dia udah baik baik aja.
Karena nyata nya, Bumi masih belum bisa nerima, Bumi masih rapuh. Bumi gak sekuat itu.

"Hey," kedua tangan Rakala terulur untuk menghapus air mata yang meluncur bebas di kedua pipi Bumi, "Langit nya tambah mendung lihat lo sedih, jangan bikin hujan di pagi yang indah ini, Bumi."

"Maaf."

Rakala tersenyum, "Mau bikin pagi yang indah dan baik sama gue?"

"Caranya?"

"Lo senyum."

Bumi terkekeh, kemudian ia menarik kedua sudut bibirnya, memperlihatkan lengkungan bulan sabit kearah Rakala, definisi dari cantik juga manis. "Nih senyum."

"Semoga hari ini seindah senyum lo, Bumi."

_________________________________________

RAKALA BUMITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang