III

2.7K 585 33
                                    

Mahira tidak berhasil masuk lebih jauh ke dalam, dia dikepung dan dipegangi dua penjaga.
Mahira marah berusaha melepaskan diri, tubuhnya yang lumayan besar membuat kedua penjaga itu kewalahan.

"Apa apaan ini.?"

Kekacauan berhenti, menejer Bram berdiri disana dengan wajah kesal.
"Kau putri Akil kan.?"

Mahira mengangguk.
"Ya." Jawabnya yang tidak membuang kesempatan sedikitpun.
"Anda harus percaya papa tidak mungkin melakukan semua yang dituduhkan padanya.
Dia bekerja dengan sungguh-sungguh, kami selalu hidup pas-pasan jadi mana mungkin dia korupsi"

Menejer Bram menghela napas.
"Lepaskan dia.!" Perintahnya pada kedua penjaga yang terus menahan lengan dan bahu Mahira.

Dengan patuh Mahira segera terbebas, bicara lagi pada menejer Bram.
"Beberapa bulan lagi papa akan pensiun, tidak mungkin dia akan bersikap bodoh, papa selalu jujur dan penuh integritas"
Mahira mencoba lagi, tidak peduli kalau kini hampir semua pegawai di lantai itu berkerumun melihatnya.

"Sejujurnya aku tidak akan pernah percaya jika tidak melihat sendiri data dan hasil audit yang dilakukan oleh orang-orang dari kantor pusat.
Kau taukan perusahaan ini sedang diakuisisi jadi orang orang itulah yang melakukan audit dan menemukan kecurangan yang dilakukan papamu.
Mereka melihat setiap perancangan yang ditangani papamu selalu ada kejanggalan dan uang yang tidak masuk akal, sedikit tapi selalu setiap kalinya berulang.
Jadi maaf apapun yang kau katakan aku tidak bisa membantumu, ini sudah diluar kuasaku."
Dia menepuk bahu Mahira.
"Aku menyesal karena kini kau harus ikut menanggung kesalahan papamu.
Percayalah aku tidak mau ini terjadi tapi aku juga tidak bisa mencegahnya."

Mahira menggeleng.
"Kantor polisi mana, kemana papa di bawa.?"
Bisiknya berurai air mata tidak bisa membayangkan tubuh kurus dan tua papa tidak dilantai penjara.

Menejer Bram menyebutkan namanya.
"Aku harap kau bisa mencari jalan keluarnya, aku kasihan pada Akil tapi mungkin ini hukuman yang setimpal bagi orang yang tidak jujur."
Setelahnya menejer Bram berbalik meninggalkan Mahira begitu saja.
Tidak ada satupun yang mendekat mencoba menghibur Mahira yang berdiri terisak disana.
Tidak ada teman sejati, tidak ada orang yang benar-benar peduli.
Begitu kau terkena masalab semuanya menjauh tidak peduli kau benar atau salah.

Dengan mata Buram dan bengkak karena tangisnya, MAHIRA pergi dengan matiknya ke kantor polisi.
Dia dengan bibir gemetar bertanya tentang papa, di mana dia bisa menemui pria terbaik dalam hidupnya itu.

"Papa.!" Raung Mahira saat diantar ke sel, melihat papa duduk lesu terkurung di sana.

Akil papa Mahira segera berdiri mengulurkan tangan melewati jeruji besi untuk menangkup pipi Mahira yang banjir airmata.
"Papa baik-baik saja sayang. Ini hanya salah paham. Papa tidak pernah melakukan semua yang mereka tuduhkan. Pasti ada kesalahpahaman disini."

Mahira mencium punggung tangan papa, terisak menggeleng pilu.
"Aku tau. Aku tau papa tidak mungkin melakukannya.
Mereka hanya salah menuduh."

"Ya pasti nanti menejer Bram akan datang menjelaskan semuanya dan mengeluarkan papa dari sini."
Papa terlihat percaya.

Tangis Mahira makin kuat melihat papa yang masih percaya pada hubungan baiknya dengan rekan kerjanya. Tapi Mahira tau tidak ada yang cukup peduli untuk membantu papa keluar dari sini, bahkan tidak ada yang cukup peduli untuk mencek ulang hasil kerja audit kantor pusat.
"Aku akan mengeluarkanmu dari sini. Aku janji aku akan membuktikan kalau kau tidak bersalah.!"
Mahira terus menekan bibirnya ke telapak tangan papa yang dengan lugunya percaya dia akan segera keluar dengan bantuan orang yang dianggapnya teman.
Ketika jam berkunjungnya habis, Mahira berjanji dia akan segera kembali dan membawa papa pulang secepatnya.

The Greatest HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang