BAB 28

24 2 0
                                    

Selepas izin ke guru piket Arumi bergegas masuk ke kelas dan memberikan surat izin pada guru yang mengajar. Nako terus berusaha membujuk Arumi agar dia bisa menemani Arumi yang akan ke rumah sakit. Tapi Arumi menolak dengan alasan akan merepotkan Nako. Padahal Nako sama sekali tidak merasa begitu.

Arumi ke luar dari pagar sekolah dengan tas digendongannya. Matanya menengok kanan dan kiri bergantian untuk mencari angkot yang mungkin akan lewat ke depan sekolahnya. Tapi biasanya jarang ada yang lewat karena kebanyakan warga dari wilayah SMA nya sudah banyak memiliki kendaraan pribadi. Makanya para pengemudi angkot lumayan enggan ketika di situ.

Karena sudah sekitar sepuluh menit tidak ada angkot yang datang, Arumi pun melesat ke halte bus. Dia melihat jadwal bus yang tertempel pada poster depan halte.

Arumi harus menunggu sekitar lima menit untuk menunggu bus berikutnya.

Sambil menunggu Arumi menghubungi kakaknya melalui telepon, namun ternyata telepon Sania dimatikan dan akhirnya telepon tidak tersambung. Arumi ingin menghubungi adiknya, Lia. Tapi sepertinya cewek SMP itu belum tau kalau ibu telah kecelakaan. Akhirnya niat Arumi kembali dibatalkan dan akhirnya dia hanya diam menunggu bus yang akan mengantarkannya ke rumah sakit.

Lima menit kemudian akhirnya bus sampai. Arumi masuk k dalam setelah membayar kepada mesin bus yang tersedia di depan pintu.

Perjalanan dari sekolah Arumi sampai rumah sakit sekitar 10 kilometer itu membutuhkan waktu 15 menit sampai 20 menit agar sampai.

Belum sampai sepuluh menit Arumi berada di dalam bus, dia sudah mendapatkan sambungan telepon. Saat dilihat ternyata dari kakaknya, Sania.

"Arumi ...," lirihan Sania terasa pedih.

Mendengar suara rintihan itu pikiran Arumi jadi negatif. Apakah kondisi ibu semakin memburuk? Arumi berusaha menghentaskan pemikiran tersebut, namun kenyataan tidak bisa dibohongi.

"Kak ... Ada apa? Kenapa kakak nangis? Ibu baik-baik aja, kan?" tanya Arumi.

Di seberang sana kembali terdengar suara Isak tangis. Kali ini isakan itu semakin keras.

"Ibu ... Udah meninggal," jawab Sania yang kemudian terdengar suara tangis memanggil nama ibu.

Arumi sempat blank sebentar. Dia berusaha mencerna keadaan saat ini. Ibunya telah meninggal?

Satu tetes air mata jatuh dari mata kiri Arumi. Gadis itu kembali menempelkan ponselnya ke telinga kirinya.

"Gak mungkin! Kak Sania pasti bohong! Bohong! Ibu gak mungkin ... Kak Sani bohong! Aku sekarang lagi ke rumah sakit, tunggu aku. Aku ingin lihat ibu!"

Setelah itu sambungan telepon dimatikan oleh Arumi.

Dia tetap berdo'a mungkin saja bisa ada keajaiban yang terjadi pada ibunya.

***

Kamar 707 menjadi sasaran Arumi karena itulah tempat ibunya dirawat. Saat sudah sampai di depan kamar itu Arumi tidak buru-buru membukanya dia menenangkan deru napas dan menyiapkan hatinya untuk menerima fakta yang akan diterima.

Saat sudah menyiapkan hatinya Arumi pun membuka pintu. Dia melihat sekeliling ruangan yang berisi lima brankar. Tiga brankar sudah terisi oleh orang yang sedang berbaring dan satu orang yang menjaga di brankar satu. Sedangkan dua brankar kosong tidak ada pemilik.

Arumi mengedarkan pandangannya ke sekeliling, dia mencari kakaknya namun tidak ditemukan. Akhirnya Arumi pun bertanya.

"Permisi Bu, apakah di kamar ini ada pasien kecelakaan?" tanya Arumi pada ibu-ibu di brankar satu yang semula terus memperhatikannya.

"Ooo iya sebelumnya baru aja ada pasien kecelakaan yang masuk ke kamar ini habis dari ICU. Tapi dia keluar lagi karena meninggal," jawab ibu itu.

Tubuh Arumi melorot. Ternyata benar kata-kata dari kakaknya.

Body Swap (TRANSMIGRASI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang