Grunge Greek God

4 0 0
                                    

Di bawah pohon ketapang di tepi taman tersebutlah aku menunggu. Langit cerah tak berawan, namun angin sepoi sejuk membelai rambutku disaat terik matahari mengecup pipiku. Taman Viēlka dipenuhi banyak orang yang sedang bercengkerama di atas selimut yang diterpa di atas rerumputan. Hari yang indah dan langit yang cerah ini rupanya bukan hanya untukku saja. Ia bersinar untuk siapapun dalam intensitas yang sama. Beberapa orang menikmatinya, sebagian tak terpengaruh olehnya, namun sebagian lagi mengeluh dan berharap untuk hari-hari mendung yang justru sebagian orang tak sukai.

Sebuah Mustang '67 convertible mendekat dan berhenti di hadapannya. Karol yang sedang tersenyum bagai anak kucing yang melihat gulungan benang wool duduk di sisi sang supir yang nampak berbicara dengan antusias. Rambutnya panjang sebahu dengan tubuh kurus. Matanya menatap ke depan lalu menunduk.

"Hei, Ursa!" sapa Karol, membuat sang supir di sebelahnya mendongak. Baju kaus Nirvana yang dikenakannya tak menghalangi aura dewa Yunani yang ia pancarkan saat ia menoleh. Rambut hitamnya melambai bagai deburan ombak yang disinari cahaya senja yang keemasan. Kulitnya bagai perak. Matanya sayu dan tersenyum bersama bibirnya yang semerah bunga peony melekuk dengan indah. Ia menyandarkan tangan kirinya di atas setir mobil dan tangan kanannya melambai padaku. Ia keluar dari mobil dan menyapaku.

"Oh, hai! Aku Mikha," sapanya dengan suara bariton yang jauh kontras dengan wajahnya yang feminin.

Aku menyambut tangannya dan aroma parfumnya yang segar menggelitik hidungku. "Aku Ursa, kawan Karol. Senang akhirnya bisa bertemu denganmu."

Mikha tersenyum anggun, namun tingkah lakunya begitu maskulin sekaligus. "Sepertinya Karol sudah cerita banyak tentangku," ucapnya sambil melirik Karol yang dibalasnya dengan tawa.

"Bukan cerita lagi, namun himne pujian," sahutku yang membuat Mikha tertawa cekikikan. Kulirik Karol, ia tersipu dengan pipi yang merona. Kepalanya mengangguk pelan dan tangannya menggaruk-garuk celananya.

Huh, ia memang benar-benar berubah.

Mikha membuka pintu mobilnya. "Ayo, masuk. Kuharap kau tidak keberatan duduk bersama kameraku, ya," ucapnya lalu berlari menuju pintunya. Namun, baru beberapa langkah ia terhenti dan menghadapku lagi sambil sesekali menengok Karol.

"Ada apa, Mish?" tanya Karol.

"Mungkin kau ingin duduk di belakang bersama Ursa agar ia tidak sendirian?"

Karol terdiam dengan mulut setengah terbuka. Matanya masih membulat menatap ke depan, namun aku hapal betul dengan apa yang ada di baliknya. Kekosongan yang ada walau tutur kata dan raut wajahnya ramah. Ia tak suka dengan tawaran itu. Ia pun menoleh padaku dan sebuah pemahaman seperti masuk ke dalam pikiranku.

"Tidak apa-apa, Mikha. Biarkan Karol duduk di depan."

Mendengar itu, bersama senyuman kekosongan di matanya kembali terisi sebelum iblisnya mengambil alih. Selama perjalanan itu, Karol dan Mikha asyik dengan obrolan mereka sendiri membuat pepohonan bersama angin dan ombak berbicara padaku yang kusahut dalam hati. Sadar akan itu, Mikha melirikku dari cermin mobil dan tersenyum lagi.

"Sudah lama kau di kota ini, Ursa?" tanya Mikha basa-basi.

"Neei, baru kemarin," jawabku. Selipan kata "nei" daripada "na" yang merupakan dialek asli Ansland membuat Mikha tersenyum.

Ia melirik mataku lagi dari kaca di atasnya. "Aku suka aksenmu. Kau benar-benar asli Ansland, ya?" pujinya yang membuat Karol melirikku sejenak di cermin. Jemarinyamasih menepuk-nepuk pahanya kanannya, sementara tangan kirinya menopang dagu pada cermin. Sesekali ia menghela nafas panjang sembari matanya bolak-balik menatapku, Mikha, dan pemandangan luar jendelanya.

"Ya, tapi dari Aleksandranosk. Karol 'kan dari Kalin," jawabku singkat.

Sunyi sejenak. Aku menghela nafas panjang dan menunduk menatap gitar, kamera, dan sebuah amplop coklat yang duduk bersamaku. Sebagian isi amplop tersebut keluar, menunjukkan beberapa lembar foto. Aku menariknya dan dahiku mengerut dengan kagum.

"Kau kenal Elise si DJ itu?"

"Ya! Aku fotografernya," sahut Mikha dengan bangga. Beberapa lagu kesukaanku adalah lagunya, dan foto-foto yang kulihat sekarang adalah beberapa foto favoritku; latar alam dan langit dengan pencahayaan sendu yang estetik serta pose stoik dan sederhana. Semua elemen itu lebih tipikal untuk musisi indie, namun pakaian haute couture-nya yang berwarna cerah dan perak memberikan nuansa futuristik dalam potretnya.

Aku memilah-milah foto tersebut hingga aku tiba di selembar foto yang berada di tumpukan paling bawah. Dari foto profesional lainnya, foto ini seperti diambil dari ponsel oleh Elise sendiri. Posenya membuatku menggigit bibir bawahku. Elise dan Mikha berada di dalam sebuah elevator. Elise nampak memeluk Mikha yang membelakangi kamera, namun dinding elevator yang dipenuhi cermin memperlihatkan wajah Mikha yang tersenyum dan tangannya yang memegang kamera. Tangan kirinya memeluk pinggang sang wanita.

Aku menghela nafas dan mendongak menatap Karol yang kini terdiam seperti patung. Aku hapal betul ekspresi ini. Ia menunjukkan... kesedihan? dengan matanya yang terpaku menatap kosong padaku sambil sesekali melirik foto yang ada di tanganku. Guliran matanya menunjukkan penyesalan. Menyesal karena apa, aku sendiri hanya mampu menebak dan berharap sesal itu bukan karena ia membawaku kembali ke kehidupannya.

Aku dan Karol memang sudah saling mengenal sejak lama, namun ia seperti selalu menghindariku. Ia tak pernah berusaha untuk mengenalku lebih jauh. Setiap kali ia dekat denganku, ia mempermainkanku lagi dengan menjauh dengan alasan bahwa ia menganggap kami tidak akan pernah serasi. Namun ia kembali lagi, hanya untuk pergi lagi dengan alasan yang sama dan melihatnya lagi bersama wanita lain yang wataknya begitu berbeda dari sebelumnya, hanya untuk hubungan itu berakhir sama singkatnya. Karol adalah pria yang rupawan sehingga mudah baginya untuk mendapatkan wanita, sementara aku terlalu tolol atau terlalu tidak laku untuk mencari yang lain.

Pintu mobil terbuka dan sosok pria membuyarkan lamunanku. "Ursa, kita sudah sampai," ucap Karol kepadaku untuk yang pertama kali. Senyuman lelah menghantui bibirnya saat ia mengulurkan tangannya padaku. Tanpa bersuara, aku menyambutnya dan berjalan di sampingnya mengikuti Mikha yang sudah mendahului kami.

Aku tak sadar kapan ia mengambil gitarnya dari sampingku. Aku pun baru menyadari kemana mereka membawaku. Padang rumput yang menggelitik kakiku, pegunungan hijau sepanjang mataku memandang, danau yang bening, dan angin yang memeluk tubuhku hanya mampu mengalihkan perhatianku sebentar saja. Udara yang berubah saat Karol ada di sisiku terlalu kuat untuk ditandingi. Perasaanku pun terlalu ricuh dan terganggu olehnya. Tak kuat, lidahku memberontak bersama suara.

"Kau sudah berubah," ucapku sedatar mungkin, berusaha memenjarakan emosi yang ingin keluar dari lapasnya. Karol melirikku sejenak lalu kembali menatap Mikha yang masih berjalan jauh di depan kami.

"Perubahan itu mutlak, Ursa," sahut Karol dengan senyuman baru yang tak mampu aku terjemahkan. "Tandanya kalau orang itu berhasil mengambil hikmah dari semua kesulitan dan kenikmatan yang telah ia alami. Seperti energi yang tak bisa dibuat ataupun diakhiri. Ia hanya berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain."

Aku tertegun mendengarnya. Walau ia sudah terdiam, kata-katanya masih berdansa di udara. Ia meraba tanganku dengan ibu jarinya. Tiba-tiba ia berhenti, membuatku ikut menghentikan langkahku. Menatap matanya seperti menatap langit malam; yang nampak hanya kegelapan yang terlihat dangkal, namun secerca cahaya yang ada disana adalah kumpulan galaksi yang memiliki semesta sendiri. Dengan itu, aku langsung memahami bahwa mungkin aku takkan pernah sepenuhnya memahami pria ini.

"Hei! Ayo!" teriak Mikha sambil memicingkan matanya. Suaranya seperti petir yang menggelegar bagi kami yang tengah tersesat di ruang dan waktu. Kami terdiam sejenak sebelum mengikutinya mendaki bukit.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 07, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sekuntum Anyelir HijauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang