Wajah Permai yang Pernah Kukenal

6 0 0
                                    

Aku bersumpah, pindah ke ibukota seperti Fernes membuatku gentar juga. Sudah dua malam aku berkemas, mengisi koper-koper dan tas yang tak kunjung dikunci pula. Walau tak terlalu jauh, namun kota Aleksandranosk yang bagai sebutir pasir pada kota Fernes yang sebesar bola kasti membuat jarak keduanya terasa jauh.

Aku tinggal di sebuah negeri bernama Fernes. Pada bulan April 2023 ini, dingin yang menyelimuti kota Aleksandranosk yang berada di bagian barat mulai terbang pergi, perlahan diusir oleh hangat dan hujan yang bergandengan tangan bersama musim semi. Kota yang dinamai setelah salah satu permaisuri kaisar Fernes di abad kesembilan belas ini cukup kecil dan berada di tepi pantai seperti kebanyakan kota di Fernes lainnya, sebab belantara di pulau ini terlalu liar dan terjal untuk dijadikan pemukiman.

Provinsi Ansland yang dekat dengan Okinawa ini membuat udaranya cukup dingin di bulan Desember hingga Maret. Namun, salju tak pernah mengecup provinsi ini. Ia setiap tahun memeluk provinsi Thalin yang terletak di bagian timur laut negeri, dan bersalaman dengan kota Fernes beberapa tahun sekali.

Aku menghabiskan delapan belas tahun pertamaku di kota Aleksandranosk, lalu empat tahun selanjutnya di kota Kalin, ibukota provinsi yang menjadi pusat ilmu pengetahuan di kekaisaran slavia timur ini. Aku lalu kembali lagi ke Aleksandranosk selama setahun. Kerja freelance, kata orang. Namun aku lebih suka menyebutnya sebagai kerja serabutan.

"Sa, kau sudah ada kemeja, jas, baju hangat, selimut?" tanya ibuku seraya membongkar kembali tas yang sudah tidak kusentuh sejak semalam tadi. Ia menoleh padaku yang tengah berdiri termangu. Ia pun tersenyum, menutup tasku, lalu memeluk dan meraba wajahku dengan tangannya yang keriput. Ia tak berkata banyak sejak aku diterima sebagai Associate di Trunóv, McConway, and Partners yang merupakan salah satu firma hukum terbesar di Fernes. Namun wajah ibu tetap memancarkan kebanggaan yang aku tahu berasal dari sanubarinya.

"Ibu bangga padamu," kalimat itu akhirnya diucapkan. Aku hanya bisa tertawa kecil dan menghembuskan nafas pada lehernya saat aku memeluknya.

"Terima kasih," sahutku.

"Kau akan baik-baik saja di sana. Jangan lupa untuk selalu menghubungiku."

Dengan begitulah, dua jam perjalanan dengan kereta kemudian aku pun tiba di Stasiun Emperatrīna Olga yang begitu ramai. Dinding marbel kekuningan dengan pilar hitam menopang langit-langit yang menjulang tinggi. Simfoni siulan kereta, hiruk-pikuk penumpang, dan suara pengumuman pada pengeras suara mengiringiku menyeret dua koper besar di tangan kiri dan kanan, sebuah ransel di punggung, dan tas selempang. Aku terlalu lama di kota kecil hingga lupa bahwa orang-orang di kota besar selalu sibuk dengan dunia mereka masing-masing. Cukup menyedihkan, namun di satu sisi begitu menenangkan juga bahwa kita tidak pernah berpengaruh secara signifikan terhadap orang lain.

Aku terus berjalan menuju parkiran dimana mobil yang kupesan sudah menungguku di sana.

Ternyata jarak stasiun ke apartemen baruku cukup dekat. Mungkin karena itu aku hanya membayar 7 tresia atau 6 dolar Amerika saja. Seperti orang kampung lainnya, sepanjang perjalanan yang singkat itu aku habiskan untuk menatap gedung pencakar langit dan bangunan historis lainnya.

Tak lama kemudian, aku tiba di apartemen baruku di daerah Sudnov, bagian selatan ibukota Fernes. Cukup luas juga. Dindingnya berwarna putih. Perabot di dalamnya pun sudah lengkap, hanya kurang dekorasi dan tirai saja. Jendelanya kaca dari lantai hingga ke langit-langit yang memperlihatkan pemandangan kota, bundaran jalanan dengan air mancur di tengahnya, serta sebuah taman yang cukup permai. Sore ini matahari berwarna jingga mulai bersinar menerpa wajahku. Tirai renda akan terlihat indah bersama jendela ini.

Sebuah cermin besar bersandar di dinding samping jendela itu. Cukup besar hingga aku bisa melihat langit-langit di pantulannya. Kutatap diriku pada cermin. Gaun selutut berwarna coklat membalut tubuh yang ramping dan pendek. Rambut ikal dan panjang berwarna coklat tua -hampir hitam. Ibuku asli Ansland, dengan garis keturunan Asia Timurnya aku mewarisi mata sipit dan kulit putih kekuningan. Sementara tubuh ramping dan pendek ini aku dapatkan dari ayahku yang berasal dari Doreum, provinsi di selatan negeri ini. Kadang aku tertawa sendiri begitu mengingat betapa ibuku harus menunduk saat berbicara dengan ayah.

Sekuntum Anyelir HijauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang