02. Kotak yang berlubang.

1 0 0
                                    

"Helv! Makan malam sudah siap!"

"Aku di belakangmu, Karoa, dan kau tahu itu. Tidak usah berteriak." Helvetica sinis menatap uraian rambut emas Karoa yang menjuntai sampai ke batas pinggul. Amat lurus dan menebarkan wangi seperti daun sage.

"Rompimu tidak dilepas dulu?" Karoa melirik sejenak Helvetica setelah suara kursi yang diduduki masuk ke pendengarannya.

"Tidak."

Semangkuk kaleng daging domba berkuah kental dan pucat terhidang di depan Helvetica. Dari dalamnya mengepul asap tipis, mengajak serta aroma masakan yang mengguggah lidah. Namun alih-alih berterima kasih dan segera memakannya, Helvetica malah lomba adu tatap dengan biji-biji jagung dan daun seledri di sup itu.

"Ayo makan, Helv. Aku mendapat resep sup ini dari salah satu pedagang di pasar."

"Ini... aman untuk dimakan?"

Gelak tawa ringan mengudara di ruang makan rumah Karoa.

"Helv, tidak apa-apa. Ini enak sekali. Lihat, kau bisa memakannya dengan roti ini. Aku juga membuat dan memanggangnya sendiri, loh."

Makin-makin saja Helvetica melotot keheranan begitu Karoa mencelupkan sepotong roti ke dalam makanan aneh itu, lantas memakannya dengan lahap, tak lupa memberi bebunyian puas tanda bahwa kali ini pun dia berhasil merealisasikan resep itu tanpa kegagalan.

Sudah menjadi kebiasaan bagi Karoa untuk menghidangkan Helvetica makanan manusia setiap kali wanita itu singgah di rumahnya setelah pengembaraan panjang selama sisa musim lain. Dan sudah menjadi kebiasaan pula bagi Helvetica untuk curiga dan membuat Karoa harus menjelaskannya banyak hal serta memaksanya makan.

Yang mana semua itu semakin membuat Helvetica tidak mengerti saja dengan jalan pikiran Karoa. Padahal dia tidak akan keberatan jika disajikan makanan para penyihir, dan bukankah manusia dan penyihir dilarang memakan makanan satu sama lain demi mencegah perebutan? Ah, kalau itu sih Karoa sudah pasti merayu para manusia untuk mengizinkannya. Dia tahu Karoa adalah penyihir yang sudah tak butuh latihan, tapi semua hal yang dilakukannya ini hanya buang-buang waktu saja.

"Cobalah dulu, Helv. Kalau lidahmu tidak cocok, aku akan memasakkanmu makanan yang lain."

Helaan napas lolos dari bibir berpewarna hitam. Helvetica menyambar sendok di samping mangkuk. Dia memang memiliki kebencian pada Karoa dan sifat tengil menyebalkannya itu. Tapi penyihir itu masih punya hati dan tahu diri. Dia menumpang di sini dan bukannya membayar seperti di penginapan, kurang ajar rasanya bila sampai membuat Karoa kerepotan.

"Bagaimana?" Karoa tersenyum, amat siap menerima pujian. Matanya berkedip beberapa kali seperti lampu yang kabelnya hampir putus.

Kuah hangat dengan rasa rempah-rempah yang kuat itu melebur di lidah Helvetica, lantas masuk ke tenggorokan, terus sampai pencernaan. Barulah setelahnya dia berdehem pelan, berusaha mencari kalimat yang tidak akan membuat Karoa kegirangan sendiri.

"Lumayan."

Karoa cekikikan, menutupi mulut dengan tiga jari. "Kau selalu bilang begitu tapi besok akan menyuruhku membuatkan lagi. Dasar tsundere."

Dengan sendok yang terjepit di antara bibir, Helvetica menaikkan alis.

"Kau menciptakan istilah sendiri lagi?"

"Tidak. Kudengar itu dari manusia di Takara. Banyak istilah mereka yang unik. Kau harus bertemu mereka kapan-kapan, Helv."

"Kau pergi ke Takara?!" Helvetica hampir tersedak biji jagung. Beruntung segelas air hangat segera sampai di mulutnya, mencegah kejadian konyol itu terjadi.

MAJENESIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang