"Selamat datang di rumah."
Salju penghujung musim jatuh tak henti, ciptakan tumpukan putih di tanah. Kebanyakan hewan sibuk beristirahat. Meski begitu yang menyambut kedatangan musim ini tak bisa dibilang sedikit. Ada saja kawanan yang berlarian, saling mengejar, membuat rongga khas di atas salju yang lantas hilang dalam sekejap.
Jauh di dalam hutan, sebuah bangunan tiga lantai berdiri. Pilar-pilar kayu menopang bagian depannya, jendela dan pintu kayu tertutup rapat, anjungan lantai dua lengang. Dari cerobong mengepul asap kelabu tanda pembakaran kayu berjalan baik di dalam sana.
"Sudah berkali kubilang aku tidak tinggal di sini." sang pembuka pintu tersinggung bukan main dengar kalimat selamat datang dari tuan rumah. Sebuah sikap yang tidak sopan, tapi kau akan mengerti kelak.
Sementara itu, lawan bicaranya malah tersenyum jail, meletakkan sejenak bilah tajam yang sedang diasah.
"Tapi kau datang untuk menginap, benar?"
"Tutup mulutmu dan ambilkan aku teh."
Karoa, demikian dia dikenal dan dipanggil orang-orang, tersenyum hangat, namun tetap saja tampak konyol di mata Helvetica.
"Helv, ingat, ini rumahmu juga, ambil lah sendiri jika haus."
Helvetica mendengus keras-keras agar Karoa dengar dan berhenti menggodanya, karena jujur suasana hatinya sedang terganggu. Malang untuk Helvetica karena gelagatnya justru terlihat lucu di mata wanita itu.
Topeng berwujud belalai lengkap dengan dua gading melengkung yang selalu sembunyikan separuh wajahnya dilepas. Helvetica menggeleng pelan, bertujuan agar mahkota hitam kelam berhenti mengusik muka.
Langkah kaki bersepatu kulit kencang menampar lantai kayu, bunyinya berpindah-pindah sampai akhirnya menjadi sunyi di bagian dapur.
"Tidak ada salahnya menaruh busurmu dulu, kawan. Tidak akan ada yang menyentuhnya." masih dengan senyum tengil yang tak pernah luntur menyertai raga, Karoa kembali berfokus diri pada kilatan tajam ciptaannya.
"Ucap orang yang membiarkan hewan peliharaannya bermain dengan busurku sampai patah." selesai mengaduk teh, Helvetica bersandar pada meja dapur, menyesap segelas cairan yang sebenarnya tidak terbuat dari ekstrak dedaunan.
"Salahmu membuat busur dari kayu pohon Develdum."
"Salahmu memelihara makhluk lemah."
"Tapi makhluk lemah itu bisa mematahkan busur kesayanganmu, loh." Karoa menyudahi pekerjaannya untuk kemudian beranjak menghampiri perapian di dekat tangga.
Helvetica putuskan berhenti membalas kalimat Karoa. Menurutnya sia-sia saja melawan bekas penasihat dan anggota kerajaan selama lebih dari tiga ratus tahun untuk berdebat. Lagipula motto hidupnya kan, tak perlu bicara jika tak penting. Tapi ah, sayang sekali, semenjak mengenal wanita cerewet itu, tanpa sadar Helvetica jadi ikut-ikutan sering bicara tanpa tujuan, seperti tadi misalnya.
"Wah! Kayunya hampir habis!" Pekikan yang tidak pernah gagal menciptakan nyeri di telinga Helvetica akhirnya mengudara juga, sial untuknya karena tidak sempat bersiap-siap untuk menerimanya.
Di hadapan susunan batu bata merah bentuk kubus dengan tabung panjang menuju ke atas itu adalah tempat favorit Karoa. Setiap datang angin dingin saat pergantian musim, Karoa akan duduk di sana sambil menyelimuti diri dengan kain tebal. Ironis sekali mengingat makhluk seperti mereka bahkan tak bisa merasakan hawa dingin.
Helvetica tidak tahu harus tertawa atau bersikap miris melihat kelakuan Karoa selama ini. Di satu sisi Karoa terlihat amat menikmati hari-hari merepotkan menjadi seperti manusia, tetapi di sisi lainnya itu tetap saja buah dari hukuman yang dia dapat.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAJENESIA
FantasíaMajenesia sudah terlalu lama berada dalam ketenangan. Baris-baris ramalan yang telah lama dilupa satu persatu muncul ke permukaan. Negeri indah berjuluk Taman Bunga Segala Rupa perlahan namun pasti mulai menjemput takdirnya. Berusaha mencegah pun ti...