"Kembalikan barang-barangku, Karoa!"
"Tidak sebelum kau melunasi hutang ceritamu."
Helvetica meremas jari. Sorot matanya tajam dituju ke arah wanita yang tengah menikmati roti bakar setengah gosong di sofa di ruang tamu, dalam pangkuannya tergeletak buku berkertas tidak putih sempurna.
"Aku bukan satu-satunya orang yang berhutang penjelasan." Begitu dingin Helvetica membawa masalah tadi malam ke pembicaraan mereka.
Karoa tersenyum tanpa meninggalkan barisan kata di kertas putih kecokelatan. Remah roti yang berjatuhan mengotori beberapa bagiannya sama sekali tak dipedulikan.
"Kalau begitu, bagaimana jika kita membuat perjanjian?"
Helvetica memicingkan mata. Dia selalu benci dengan hal bernama perjanjian, terutama jika itu menyangkut Karoa. Jika perjanjian antara penyihir dan manusia menciptakan damai, maka akan lain yang terjadi jika kau berusaha membuat perjanjian dengan Karoa. Dengan sifat menyebalkan dan konyolnya itu dia akan memanfaatkanmu tanpa henti.
Lihat! Lihat bagaimana dia mengunyah potongan roti itu, lihat caranya tersenyum begitu lebar, lihat bagaimana tangannya ditepuk-tepuk berusaha hilangkan remah roti yang menempel. Dia terlihat sangat jahat bukan?
Tolong katakan iya.
"Aku akan menceritakan semua tentang perjalananku ke Takara, kau akan menceritakan apa yang kau alami selama pengembaraan, dan!" Karoa sengaja menutup kencang buku di pangkuan. "Kau juga akan mendapatkan hadiah berupa belati dan busur. Wah, ini sih seperti tidak adil untukku. Tapi tidak apa-apa deh, soalnya kita kan teman baik. Nah, jadi bagaimana?"
Wajah Helvetica merah padam. Kalau tidak ditahannya habis-habisan, mungkin sepasang tanduk hitam sudah muncul dari kepalanya sedari tadi, memanjang ke atas sampai menembus lantai dua rumah Karoa, atau bahkan bisa merusak bagian luar atap.
Namun biar bagaimanapun, sejak saat memutuskan untuk singgah di kediaman Karoa, Helvetica memang telah seperti membuat perjanjian terkutuk dengannya. Keputusan Helvetica sudah salah sedari awal, jadi tidak ada yang bisa dilakukan selain mengikuti arus sambil menunggu waktu yang tepat untuk keluar dari pusaran air terkutuk ini.
"Kau tahu? Tuan Gurita mengharuskan kita sampai nanti malam, dan Zeri bilang rumahnya sedang berada di Hutan Gigantua. Jadi alangkah baiknya jika kita mulai berangkat sekarang."
Hah? Hutan Gigantua? Tidak salah?
Sebenarnya ingin sekali Helvetica menyuarakan keterkejutan dengan bertanya mengapa pak tua itu sampai kepikiran 'memindahkan' rumah gembel miliknya ke Hutan Gigantua yang jaraknya lebih dari dua ratus kilometer dari sini, tapi urung, dia masih kesal perihal ucapan Karoa tadi mengenai hadiah.
Kenapa? Kau bertanya kenapa? Duh, begini. Jelas-jelas busur beserta anak panah dan ramuan yang disita serta disembunyikan oleh Karoa itu adalah milik Helvetica, seratus persen miliknya, jadi kenapa pula Karoa menjanjikan barang-barang tersebut sebagai hadiah? Kesalahan ada pada Helvetica karena merasa kesal, sudah tahu Karoa memang selalu tengil dan menyebalkan.
"Aku sudah siap. Bagaimana denganmu, Helv?"
Malas-malasan Helvetica tolehkan kepala hanya untuk disambut tingkah seperti anak kecil Karoa di ujung tangga, tengah pasang senyum lebar sembari tenggerkan tangan di kedua sisi pinggul. Untuk ke-seribu kalinya dalam dua hari terakhir, Helvetica menarik dalam-dalam napas, lalu diembuskan bersama dengan langkah kaki yang dibawa keluar rumah.
Karoa terkikik pelan sebelum berlalu menyusul Helvetica.
"Kau sedang apa?"
"Hm?"
KAMU SEDANG MEMBACA
MAJENESIA
FantasyMajenesia sudah terlalu lama berada dalam ketenangan. Baris-baris ramalan yang telah lama dilupa satu persatu muncul ke permukaan. Negeri indah berjuluk Taman Bunga Segala Rupa perlahan namun pasti mulai menjemput takdirnya. Berusaha mencegah pun ti...