Prolog

13 6 14
                                    

Rintikan hujan terus berjatuhan membuat tubuh tegap yang berlesehan di atas rerumputan taman basah kuyup. Awan Samudra mendongak ke atas dengan lelehan air mata yang hilang bersamaan dengan air hujan. Menikmati setiap rintikan hujan yang mampu membuat hati nya kembali tenang.

Inilah salah satu kenapa Awan sangat menyukai hujan. Di bawah hujan dia bisa menangis sepuas mungkin, mengeluarkan semua unek-unek yang berjalar di pikirannya tanpa ada yang mengetahuinya.

Awan menghembuskan nafas panjang. Mengingat suatu tanggung jawab yang sangat berat untuk ia jalanin disaat ia masih menempuh pendidikan di salah satu universitas airlangga.

"Ayah bilang mau lihat Abang wisuda. Kenapa ayah malah pergi?" lirih Awan dengan mata fokus menatap awan mendung dengan rintikan hujan yang terus berjatuhan.

"Awan ga yakin bisa menjalankan semua  tanggung jawab yang ayah tinggalkan." Awan kembali menundukan kepalanya, menangis sejadi-jadinya di bawah rintikan hujan agar tidak ada siapapun yang tau.

"Ayah harus bertahan. Kami semua  ga mau kehilangan ayah," ucap Awan sambil mengenggam tangan ayahnya yang terbaring lemah di rumah sakit.

Anis tersenyum tipis menatap lekat ke arah putra sulung kebanggaannya. "Abang nangis?" ujarnya dengan suara serak

Tanpa sadar air mata  mengalir semakin deras di wajah Awan mendengar perkataan ayahnya. Bagaimana bisa Awan kelihatan baik-baik saja, jika salah satu orangtuanya sedang  mati-matian bertahan untuk tetap hidup.

"Le_mah, anak cowok ga boleh nangis!" Anis memukul pelan lengan Awan dengan sisa tenaga yang ia miliki.

Awan mengusap kasar airmatanya, tidak ingin ayahnya semakin sedih karena melihat dirinya yang lemah.

"Ayah titip Ibu dan aAdek.  Tolong jaga mereka berdua baik-baik. Ayah ga akan maafkan Abang jika terjadi sesuatu kepada dua bidadari kesayangan Ayah."

"Ayah yang harus jaga mereka berdua, bukan Awan," ujar Awan dengan suara serak karena menahan tangis. Awan berusaha menolak semua perkataan ayahnya yang memiliki kesan seperti berpamitan.

Anis malah terkekeh pelan melihat raut wajah Awan yang kelihatannya kesal kepadanya. " Belajarlah melihat sinar terang dibalik  setiap awan yang mendung." ucap Anis memberikan pesan terakhir untuk putra sulungnya sebelum memejamkan mata sempurna.

"AYAH..."

Awan menghembuskan nafas panjangnya, mengingat kenangan terakhir bersama ayahnya membuat Awan kembali termenung dalam kegelapan.

"Tanpa ayah, Aku tidak bisa apa-apa." lirih Awan menenggelamkan wajahnya diantara lutut.

Awan akan terus berarak, meskipun hujan belum reda
_Awan samudra_

Halo semua apa kabar
Aku kembali lagi dengan cerita kedua aku hhrhhe. Jangan lupa dibaca, vote dan coment ya.

semoga kalian suka

PLUVIOPHILETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang