Pagi itu, aku terlonjak bangun dengan keringat yang mengucur deras. Jantungku berdegup kencang. Napasku pun tersengal dan tak beraturan, serupa orang yang habis berlari ribuan meter tanpa henti.
Kucing itu berbicara kepadaku, perkataan yang sangat sulit ku pahami. Si hitam berbulu itu bilang, "Angsa-lah pelakunya!"
Ia melompat ke kasur, menghampiriku yang terduduk dengan mata setengah terpejam. Makhluk itu menggeliat di sisi kakiku lalu mengerang. "Si hitam itu yang melakukannya! Aku juga hitam, tapi bukan aku!"
Aku tidak mengerti, kucing itu memang sulit dipahami. Bukan karena ia baru setahun bersamaku. Namun sejauh ini, di antara banyak makhluk kecil berbulu yang kutemui, Hitam-lah yang paling sukar dimengerti.
Dahiku menyerengit. "Apa maksudmu?"
"Yang pertama memang aku pelakunya. Tapi untuk seterusnya bukan aku!"
Aku memilih untuk menghiraukannya. Waktuku tidak sebanyak itu, bisa-bisa ibu memarahiku. Terlebih, aku menemukan fakta bahwa jendela kamarku sudah terbuka.
Matahari hampir meninggi dan tiupan angin nyaris terasa tidak sejuk lagi. Lalu sekilas, ku pandangi benda yang tergantung tepat di depan jendela kamarku. Ku rasa fungsi dari benda tersebut telah benar-benar hilang. Haruskah aku membuang dream catcher itu?
Aku menengok ke arah kucingku. Ia memandangiku dengan pupil mata yang membesar. Sangat lucu dan kasihan dalam satu waktu.
Hitam telah bersamaku untuk waktu yang cukup lama dan aku belum memberinya nama. 'Hitam' bukanlah nama kucing itu. Aku sudah pusing dengan semua hal aneh yang terjadi dalam hidupku. Mencarikannya nama yang cantik hanya membuatku semakin pusing. Lagipula, kucing itu datang ketika ku panggil ia dengan sebutan 'Hitam'.
Aku mendekatkan wajahku ke depan wajah mungilnya. "Apa kau ingin nama baru?" tanyaku.
Seketika mata kecilnya berbinar. "Ya! Ya! Ya! Aku ingin!"
Aku tersenyum geli. Suara itu terdengar begitu menggemaskan bagiku. "Baiklah, nanti akan kuberi. Jika sudah terpikir."
Binar matanya meredup, pupilnya pun kian mengecil. Sepertinya Hitam marah padaku. Ia mengeluarkan kuku-kuku tajam, lantas mengambil ancang-ancang untuk menyerang.
"Kau ini!" amuknya.
Aku mengambil selimut, untuk berjaga kalau-kalau Hitam mengeluarkan serangan mendadak.
"Baiklah! Akan kuberi sesegera mungkin!" panikku.
Dan benar, ia melompat ke arahku sambil mengayunkan lengan mungilnya. "Aku mau sekarang!"
Ku bentangkan selimutku lebar-lebar sebagai bentuk pertahanan. Tepat sasaran! Aku menangkapnya! Hitam mengeong keras, ia memberontak. Tawaku seketika pecah. Tak menunggu lama, ku bungkus kucing nakal itu layaknya bayi.
ฅ^•ﻌ•^
Hitam mengikuti langkahku yang menjauh dari rumah. Ia tak ingin tinggal. Barusan, kucing itu menggerutu lantaran diomeli oleh ibu. Bukan tanpa sebab, saat aku menuruni tangga, Hitam menyela. Ia berjalan tergesa, menyelinap di antara kedua kakiku hingga membuatku jatuh tersandung karenanya.
Tak puas membuatku tersungkur, ia melompat ke atas meja dan menjatuhkan vas kesayangan ibu.
Sepertinya sekarang ibu memiliki banyak alasan untuk membenci Hitam.
Aku melirik ke belakang. Hitam sedikit menjaga jarak denganku yang berjalan terpincang-pincang. Memar biru di mata kakiku tak menjadi alasan sempurna bagiku untuk bolos sekolah. Ibu tak akan membiarkanku. Tapi tak apa, terima kasih kepada Hitam. Berkatnya hariku jadi lebih agak berwarna.
KAMU SEDANG MEMBACA
N O I R
FantasyBulan sabit memberi tanda, melalui Hitam, si perantara. Dan aku, manusia biasa yang tak bisa memahami mereka sepenuhnya. ©copyright, 2023. Chweleon, first published on December 7, 2023