0 2. d i a, s e l a i n k u

10 1 0
                                    

Dasar kucing tidak tahu diri. Dia meninggalkanku sendiri di sini. Aku mendengus sebal. Tak tahu mengapa hari ini aku sedikit sensitif pada Hitam.

Sudah lebih dari tiga jam aku mendekam di dalam sini. Sedangkan Hitam? Entah ke mana perginya.

Aku terduduk di dekat pintu, menelisik sudut demi sudut ruangan dan barang-barang yang terlihat usang diterangi cahaya lampu remang-remang. Ku akui gudang ini sedikit menyeramkan. Terlebih, hujan yang turun sejak jam makan siang tadi tak kunjung reda. Ditambah udara dingin yang menusuk membuatku sesekali bergidik ngeri.

Namun, rasa takut itu tidak begitu mendominasi sebab pikiranku terpecah belah. Mulai dari memikirkan cara keluar dari gudang ini, ke mana perginya Hitam, hingga sosok yang dibicarakan Hitam beberapa waktu lalu.

Satu lagi, waktu sekolah hampir usai dan aku baru menyadari kalau aku menghilang di tiga jam pelajaran terakhir. Mataku melotot. Layaknya orang yang dilanda stress berat, aku menjambak rambutku.

Aku bukanlah murid pintar yang terlihat mencolok. Bukan pula murid nakal yang dihafal sebagian guru lantaran sering keluar masuk ruang BK. Jadi, asumsiku, guru yang mengajar tidak terlalu peduli akan ketidakhadiranku. Namun, tetap saja hal itu membuatku gelisah setengah mati.

Bisa gawat kalau ibuku tahu! Harapanku hanya ada pada Ciel, jika guru menanyakan ke mana perginya aku. Gadis itu pandai berakting. Sang pengampu tidak akan curiga jika Ciel mengatakan aku sedang terbaring lemah di ruang UKS.

Untuk kesekian kalinya, aku menghela napas. Sesaat kemudian, ekor mataku menangkap bayangan yang bergerak dari luar jendela mati.

"Ila!"

Aku kontan berdiri. Bibirku melengkung ke atas setelah mendengar suara yang sangat ku kenal. Siluet di luar jendela itu melompat turun, disusul bunyi kunci yang beradu dengan gembok.

Hitam menyambutku, ia melompat girang ke gendonganku. Aku mendekap tubuh mungil itu.

"Hitaaaam," haruku yang sebenarnya lebih mirip rengekan. Ugh, itu memalukan.

"Ila! Aku senang kau baik-baik saja," katanya. Ia memandangku dengan mata berkaca.

Tanganku tergerak untuk mengusap lembut rambut-rambut legamnya yang agak basah. "Ku kira kau akan membiarkanku terkunci di tempat ini."

Hitam menggeleng.

"Tidak mungkin! Nanti siapa yang memberiku makan?" katanya yang ku sambut dengan sentilan di dahi. Aku tertawa geli.

Mataku beralih menatap lelaki jangkung yang berdiri di depan pintu. Ia memandangiku dan Hitam dengan raut muka lega.

"Jadi namanya Hitam, ya?" tanyanya, memastikan.

"Bisa dibilang begitu," jawabku sekenanya. Laki-laki itu mengangguk.

"Makasih—" Kalimatku menggantung lantaran aku tak tahu nama orang itu. Mataku melirik sederet nama pada name tag-nya.

"Alles."

ฅ⁠^⁠•⁠ﻌ⁠•⁠^

"Segera beri aku minum setelah kita sampai di rumah." Hitam berucap dengan suara yang sedikit serak.

Aku yang tengah sibuk mengemasi barang-barangku menoleh bingung ke arah Hitam yang sedang berbaring lemas di atas meja. "Emm, baiklah, Tuanku. Anda nampak sangat kelelahan hari ini," godaku kepadanya.

Ku tengok jam kulit coklat bulat di pergelangan tanganku. Baru lima belas menit setelah bel pulang dibunyikan, tapi kelas sudah benar-benar kosong melompong. Tinggal tersisa aku dan Hitam seorang.

N O I RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang