PROLOG

1 0 0
                                    

   Sore itu, langit tampak mendung dengan suara bising angin yang membersamai dan gemuruh guntur yang tak henti mengaung keras di angkasa.

Seolah, mereka ikut berkabung dan bersedih atas peristiwa duka yang tengah dialami kerajaan hari itu.

Sebuah lapangan tak berumput yang berada tak jauh dari istana sedang menjadi tempat berkumpulnya beberapa orang berpakaian hitam yang berdiri membentuk lingkaran besar.

Isi dari barisan besar orang-orang itu tak lain dan tak bukan adalah mereka, para golongan bangsawan, yang wajahnya tengah tersedu atau menunduk.

Bahkan, ada beberapa yang tak dapat menyembunyikan isak tangisan ditemani dengan sapu tangan yang berkali-kali menyeka wajah.

Di tengah keheningan saat itu, suara langkah kuda disertai dengan roda kereta yang terseret tiba-tiba hadir dan mengalihkan perhatian seluruhnya.

Saat kusir kuda yang duduk di punggung kuda menghentikan kuda yang ia tunggangi, pintu kereta kemudian dibuka dan mengeluarkan seorang pria yang begitu dihormati di kota ini.

Sementara itu, kereta lain yang berada di belakang kereta tersebut juga ikut menurunkan dua orang putri bergaun hitam dengan paras dan ukuran tubuh yang berbeda.

"Yang Mulia, semua sudah menunggu."

Pria paruh baya yang baru saja turun dari kereta itu tak menjawab ucapan pelayan kerajaan yang datang tergopoh-gopoh dari keramaian barisan.

Beberapa detik dirinya terdiam sebelum akhirnya memantapkan langkah untuk memimpin dua putrinya mendatangi barisan orang-orang.

Saat tubuhnya detik demi detik mendekat ke arah banyak orang, wajahnya tiba-tiba memanas. Air matanya keluar dengan ekspresi wajah yang tak berubah, begitu pula dengan ritme langkah yang spontan.

Kala itu, raja dari negeri ini, meneteskan air matanya setelah sekian lama hal itu tak terjadi.

Hari ini, tepat di tanggal 4 Juli 1870, tersebar kabar bahwa permaisuri kerajaan telah tiada.

Permaisuri—atau ratu yang begitu dihormati dan dicintai oleh negeri karena kecantikan dan kelembutannya.

Ratu yang dikenal begitu baik, sangat memegang teguh keadilan, memiliki empati tinggi, dan berjiwa dewi, kini telah pergi meninggalkan banyak orang yang menyayanginya.

Wajahnya yang cantik, yang disukai banyak rakyat negeri ini, kini hanya terpajang di pigura besar yang menjadi pusat dari lingkaran orang-orang yang melingkar di tengah lapang bersama dengan sebuah peti yang siap dikuburkan.

Setelah sang raja bergabung dalam barisan, upacara dimulai.

Tak ada orang yang tak berduka hari itu. Seluruhnya menunduk lesu, kecuali satu orang yang wajahnya terus menghadap depan sejak tiba.

Tatapannya kosong dengan ekspresi wajah datar. Di sampingnya, ada saudari kembarnya yang menangis tersedu dengan tangan menutup mulut.

Tepat saat peti dimasukkan ke liang lahat, isak tangis yang tak tertahankan ke luar dari mulut para bangsawan yang hadir di sana, termasuk seorang putri yang sejak tadi hanya memasang wajah kaku.

Hal itu ternyata juga terjadi pada para rakyat yang terlihat saling berimpitan di luar pagar tempat tersebut demi menyaksikan upacara pemakaman ratu negeri mereka.

Mereka menangis dan menyerukan suara kasih sayang pada mendiang ratunya.

Satu-satunya wajah yang bisa tersenyum hari itu hanyalah wajah sang ratu yang terpajang di pigura itu sendiri.

---

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 17, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SHADOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang