Kesempatan

65 15 0
                                    

Aku merasa tubuhku lemas,tulang kaku-kaku, dan kepala berat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku merasa tubuhku lemas,tulang kaku-kaku, dan kepala berat. Tangan kananku berusaha meraih benda pipih yang biasa aku taruh di nakas samping kasur. Namun, tanganku malah tak meraih apa-apa. Terjatuh ke bawah lantai.

Setengah mataku terbuka. Kini aku merasa selain warna cat kamar berubah, wangi parfum yang biasa kuhirup tiap hari pun jadi berbeda.

Aku merasakan kejanggalan. Sekarang tidak mungkin ada di lokasi shooting. Minggu ini bahkan aku tidak menerima project apa pun.

"Sudah bangun rupanya," ujar seseorang dengan suara berat.

Mulanya aku mengira itu Erik. Namun, sejak kapan suara anak 18 tahun berubah menjadi berat?

Seketika tubuhku refleks bangkit dari kasur, menatap seorang pria asing berwajah tampan sedang duduk di samping kasur membelakangi jendela apartemen. Tangan kanannya memegang botol beer bintang, sementara matanya memicing ke arahku, seolah-olah ia sedang meneliti setiap inchi tubuhku.

"S-siapa kamu ...." Kepalaku menggeleng cepat, meralat perkataan yang telontar dari mulutku sendiri. Siapa yang tidak tahu Ranu? Aktor senior yang baru saja keluar dari penjara. Namun masalahnya, mengapa dia ada di sini, bersamaku. "Ini di mana? Kamu ngapain saya?"

Ranu tersenyum miring. Ia menghembuskan napas panjang sebelum tangannya menaruh beer di samping meja. Ia berdiri, kemudian mendekat ke arahku. Sementara langkahku makin mundur menjauhinya. "Jangan macam-macam! Gue bakal lapor polisi!"

Kedengarnya aku memang tidak sopan, tetapi siapa peduli dengan sopan santun pada situasi seperti ini?

"Calm down. Saya bukan om-om mesum." Ranu terus mengulas senyum, dan itu sangat mencurigakan.

Tidak ada makan siang gratis di dunia ini. Aku mencurigai, ada yang tidak beres di sini, sesuatu pasti telah terjadi, dan aku belum menyadarinya.

"Arrrrrgh!" Aku memegangi kepalaku yang tiba-tiba pening. Ini pasti efek mabuk. Semua gara-gara Andrew, artis pendatang baru yang tiba-tiba ngetop. Pria berengsek itu pasti sengaja menukar minumanku dengan alkohol sialan. "Kepala gue ... pusing."

Ranu masih diam mematung menatapku. Ia bahkan tidak peduli jika aku terus-terusan merengek pening seperti orang gila.

"Tidur lagi aja dulu kalau masih pusing," ujarnya dengan nada pelan. Entah mengapa tatapannya kini berubah. Dia tidak bisa ditebak.

"Nggak ... sebelum lo jelasin, ini di mana? Kenapa gue bisa ada di sini?"

"Kamu beneran nggak inget apa-apa?" tanya Ranu penuh selidik.

Mataku melirik ke arah kanan, berusaha mengingat kejadian lalu. Namun nihil, aku hanya ingat datang ke undangan pesta bersama teman-teman artis lain.

Ranu mengeluarkan ponsel dari saku kemejanya. Ia menunjukan mobil milikku yang menabrak pedagang kaki lima.

Mataku melotot seketika. Membayangkan kehancuran karier yang sudah kurintis. Semuanya sudah kurancang sedemikian rupa agar imageku sebagai artis yang baik hati dan berprestasi terpatri di masyarakat. Jika video ini tersebar, itu artinya mereka akan tahu kalau aki ini pemabuk.

Tidak. Aku tidak akan siap kehilangan kepopuleranku, alih-alih mengkhawatirkan kondisi para korban. Tidak mudah untuk mencapai titik ini. Aku tidak ingin nasipku sama seperti Ranu. "T-tolong ... jangan sebarkan video itu. Saya bisa kasih jumlah yang kamu mau."

Mungkin managerku akan murka jika aku berkata seperti ini. Tapi dalam keadaan mendesak, kurasa ini cara yang tepat untuk bertahan. Manusia harus bertahan untuk dapat melanjutkan hidup. Termasuk dengan cara ini. Menyuap atau apa pun itu namanya, aku sudah tidak peduli.

Ranu tertawa sarkas. Ia memandangku dengan tatapan yang sama seperti pertama kali ku melihatnya. Tatapan seseorang yang menangkap mangsanya.

"Saya sudah telepon manager kamu. Dia lagi ngurus para korban biar beritanya gak bocor ke media. Mungkin ...." Ia kembali melirik jam di dinding. "Sejam lagi dia nyampe ke sini. Tenang aja, ini apartemen saya. Jadi kamu aman."

"Terus?" tanyaku penuh selidik. Pria itu tidak mungkin menolong karena cuma-cuma. Apalagi kondisinya yang seperti sekarang. Ditinggal mantan istri dan tidak punya penghasilan.

"Terus?" Alis Ranu naik sebelah. Seolah-olah sedang mengetes kepekaanku. "Kenapa?"

"Terus kenapa Om mau nolongin saya?"

Kini Ranu tidak bisa lagi menahan tawanya agar tidak meledak. "Hahahaha. Apa saya sudah setua itu kamu panggil Om?"

Aku mendengkus gusar. Makin resah meskipun Ranu bersikap baik-baik saja. "Kamu pasti tahu kalau di dunia ini nggak ada makan siang yang gratis. Jadi imbalan apa yang kamu inginkan?"

Wajah Ranu seketika berubah menjadi girang. Ia bahkan bertepuk tangan, lalu mendekat. Aku tidak mampu lagi untuk mundur, akan aku hadapi pria tua itu.

"Kamu memang pintar, Danira!" Ranu terlihat berbunga-bunga. Sudah kuduga, ia tidak sebaik itu. "Saya kurang suka mengemis. Saya lebih suka mendapatkan sesuatu dengan kerja keras saya sendiri."

"Maksudnya?" Aku makin tidak mengerti pada perkataannya yang terdengar meracau.

"Saya yakin kamu baca berita tentang saya. Kondisi saya sedang buruk, tetapi saya harus bertahan. Tetapi ternyata, bangkit setelah jatuh terpuruk tidak semudah yang dibayangkan. Jadi---"

"Cepat katakan apa mau kamu. Terlalu berbelit. Saya nggak punya waktu buat mencerna apa yang kamu katakan tadi!" potongku cepat.

"Baik ... baik." Ranu mengulurkan telapak tangannya, memberi gestur agar aku harus bersabar. "Aku butuh pekerjaan."

Aku memandangnya tidak percaya. Mulutku sampai menga-nga. Aku memang membuka kue kekinian 3 bulan lalu. Aku tidak menyangka permintaannya begitu menyedihkan.

Tanpa banyak bicara, aku segera menyetujui permintaanya. "Boleh. Kamu pilih toko kue cabang mana aja!"

Ranu menatap dalam sambil menggeleng pelan. "Bukan itu, Ra. Tolong bantu saya kembali ke dunia entertaiment."

"W-what?" Aku terkejut mendengar permintaanya. Bagaimana bisa aku membawa kembali popularitas aktor papan atas yang terkena skandal narkoba."Tapi saya bukan casting director, produser atau pun sutradara. Gimana caranya?"

"Saya dengar, tahun depan kamu dapet proyek besar karya Mbak Wira? Saya mau kamu rekomendasikan saya pada Mbak Wira."

"Kamu gila? Itu bukan proyek main-main!"

"Pengalaman saya banyak. Saya bersedia casting kalau memang dibutuhkan," tukas Ranu dengan percaya diri.

"Kamu ...." Aku memegang kening sambil menatap sosok yang masih berdiri tegap dihadapanku. "Gimana kalau saya menolak?"

"Saya akan sebarkan rekaman videonya. Pertama kamu akan berurusan dengan polisi. Kedua, kehilangan image."

"Kamu bener-bener gila, ya?"

"Tidak," balas Ranu cepat. "Ini cara saya bertahan hidup."

Kami berdua terdiam lumayan lama. Saling memandang asing satu sama lain. Kemudian suara bell apartemen membuyarkan keheningan yang terjadi.

TBC

Fight For My Way (TERBIT Di WACAKU) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang