PROLOG

404 37 0
                                    

Maaf ya gaess, aku hadirkan novel lain saat novel Mengejar Cinta Bos Korea jarang di update. Tapi ide ini sudah lama sekali menari-nari di kepala dan harus cepat-cepat dituang sebelum idenya hilang.

Semoga aku bisa rajin update biar kalian nggak terlalu lama menunggu. 

Happy Reading

***

"Saya mau mendaftarkan anak saya les renang," ujar Dinda kepada seorang pria paruh baya yang sedang duduk di depan meja pendaftaran di dalam kantor administrasi sebuah tempat kursus berenang.

Pria itu menatap ke wanita yang berdiri di samping Dinda seakan sedang memindai dari kepala sampai ujung kaki. Hal itu membuat Dinda jengah hingga membuatnya mengetuk meja beberapa kali.

Pria itu gelagapan. Mata tuanya segera berpindah ke formulir pendaftaran yang ada di depannya. "Oh. Nama anaknya siapa?"

Dinda ingin melipat kedua tangannya akan tetapi tidak ia lakukan hanya demi sopan santun di depan pria yang mungkin usianya sama dengan mendiang ayahnya.

"Janendra atau Endra saja." 

"Din, Ibu mau ke depan dulu. Nyarikan jajan buat Endra." Sang ibu pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban.

Dinda membuka dompet lalu mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu namun tiba-tiba ia teringat sesuatu yang membuatnya bergegas berlari mengejar ibunya.

Dinda takut akan sesuatu hal yang membuat adrenalinnya naik dengan pesat namun malah membuat langkah kakinya tak secepat yang ia inginkan. 

"Mama!" seru Endra yang ikut berlari mengejarnya hingga membuat langkah Dinda berhenti lalu memutar badan.

"Endra, tunggu disini ya. Mama mau jemput oma dulu." 

"Memangnya oma kemana, Ma?" Endra yang baru berusia lima tahun itu menelengkan kepala dengan alis bertaut.

"Oma mau beliin Endra jajan. Tapi Oma belum tahu tempat orang yang jualan. Mama takut kalau oma tersesat bagaimana?" Dinda asal bicara namun beruntung Endra mengangguk tanda mengerti.

Pria paruh baya yang merupakan pemilik dari kolam renang sekaligus pengelolanya itu berdiri di belakang Endra.

"Pak...."

"Pak Alan." Pak Alan melanjutkan ucapan Dinda yang terlihat panik ingin segera menjemput ibunya.

Dinda segera mengeluarkan dompet dan menyerahkan empat lembar uang seratus ribuan kepada pria yang memiliki hidung mancung, bibir tipis dan mata yang menjorok ke dalam itu. "Pak Alan, titip anak saya ya. Ini uang daftarnya. Secepatnya saya akan kembali." Tanpa menunda waktu, Dinda segera berlari menjauhi Pak Alan yang kini menggandeng tangan Endra.

Pak Alan jongkok untuk menyamakan tinggi badannya dengan Endra. "Kamu sudah siap belajar renang?" 

"Siap ... opa." Senyum Endra melebar, semangatnya untuk les renang membuat Pak Alan ikut menyunggingkan senyum.

"Pa, apa dia anak barunya?" tanya seorang pria berperawakan tinggi besar, berkulit putih dan rambutnya hitam pendek bergelombang.

"Tolong handle anak ini!" Pak Alan menyerahkan Endra pada pria itu lalu melangkah santai menuju pintu utama kolam renang dimana beberapa waktu lalu Dinda melewatinya.

***

Dinda berdiri tak jauh dari ibunya yang sedang melambaikannya. Darahnya langsung mendidih saat melihat punggung seorang pria yang sedang menunggang motor lawas GL Pro. 

"Apa Ibu masih berhubungan dengannya?" tanya Dinda dengan dua tangan mengepal erat. Menahan amarah yang sudah siap meledak.

Sang ibu memutar badan dengan sekaku robot. Seakan-akan baru tertangkap basah. "Dinda, ibu bisa jelaskan!"  

Dinda memilih memutar badan dan pandangannya tertuju pada Pak Alan yang entah berdiri sejak kapan disana. Pria itu terdiam seakan-akan tengah mengamati mereka. 

Dinda melewati Pak Alan begitu saja lalu sasuk lagi ke tempat dimana Endra sedang pemanasan sebelum belajar renang. Dinda memilih duduk di kursi panjang, terdiam dengan mata berkaca-kaca.

Sang ibu berjalan lemah mendekati putrinya. Seperti seorang siswa yang sudah melakukan kesalahan. Duduk di ujung bangku panjang dimana di ujung lainnya Dinda tanpa menoleh kepadanya.

"Ayahmu tadi kesini untuk mengantarkan uangmu yang dia pinjam beberapa bulan yang lalu," ujar sang ibu sambil menyerahkan uang ratusan ribu yang ditekuk menjadi dua. Ada beberapa lembar uang disana tapi Dinda hanya melihat uang itu tanpa merenggutnya.

"Dia bukan ayahku. Ayahku sudah meninggal empat tahun yang lalu," sinis Dinda merasa jijik dengan sebutan ayah.

Pria itu adalah suami sang ibu yang telah dinikahinya selama hampir dua tahun lamanya. Pernikahan yang sudah membuat hati Dinda miris bahkan sejak tahu ibu dan pria itu ternyata menjalin hubungan khusus.

"Dia sudah bikin ibu babak belur. Kenapa Ibu masih saja berhubungan dengannya?" Dinda membuang muka lalu mengembuskan napas berat ke udara. 

"Dia ayahmu." Lagi-lagi kalimat itu diucapkan oleh sang ibu, membuat mata Dinda membulat. "Dia suami, Ibu" Ibu langsung meralatnya.

Dinda merasa jijik sekali, dia mendesis untuk membuang rasa kesalnya. "Ibu harus bercerai darinya!" ujarnya tanpa mengalihkan pandangan dari Endra yang kini tengah bersemangat belajar berenang.

"Ibu mencintainya." 

"Cinta? Setelah dibuat babak belur begitu, ibu masih cinta?" 

"Dinda, kecilkan suaramu!" Ibu merasa orang-orang memperhatikan mereka berdua.

Mata Dinda berkaca-kaca, tapi tidak sampai luruh karena air mata itu tiba-tiba menghilang begitu saja. Ia mengusap wajahnya yang panas lalu menelan ludah dengan susah payah.

"Bu, sampai kapan bertahan sama dia, Bu? Apa sampai menunggu dia menghabisi nyawa Ibu?"

"Dinda, Ibu mohon hentikan. Nggak enak jadi bahan tontonan orang!" seru sang ibu dengan kepanikan.

"Nggak peduli!" Meski berkata demikian, namun Dinda mengedarkan pandangan ke segala arah hingga pandangannya berserobok dengan Pak Alan yang sedang duduk di seberang kolam renang. 

SUAMI IBUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang