One

100 6 2
                                    

"Nasib itu sudah menjadi garis
takdir yang harus aku jalani."

● ● ●

Bus berhenti tepat di persimpangan Jalan Malioboro.

Susah payah aku turun sambil memikul box minuman dingin berwarna biru. Kulihat kanan dan kiri sebelum menyeberangi jalanan yang cukup ramai pada pagi ini.

Kendaraan berlalu-lalang dengan kecepatan tinggi diiringi bunyi klakson berulang kali menandakan mereka sedang dikejar waktu. Siapa lagi kalau bukan golongan orang berjas rapi yang akan pergi bekerja atau pun para anak muda yang hendak sekolah. Aku menghela napas legah saat berhasil sampai diseberang jalan.

Senyum tipis tercetak di wajahku saat mataku menangkap satu objek ditengah ramainya jalan. Segerombol anak muda baru saja turun dari Bus Pariwisata. Terlihat dari kejauhan, mereka sepertinya anak SMA yang sedang study tour akhir tahun.

Usiaku dengan mereka sama, namun sayang nasibnya berbeda. Tepat satu tahun yang lalu, aku memutuskan berhenti sekolah dan memilih bekerja karena faktor ekonomi. Terlalu panjang dan menyedihkan apabila aku menjelaskan lebih dalam. Yang pasti, aku tidak pernah menyesal dengan garis takdir yang sudah dirancang rapi oleh Tuhan.

“Air putihnya lima ribu aja..” Aku mencoba mendekat dengan mereka dan menjajahkan minuman dingin.

Bagaimanapun juga aku harus mencari pelaris di pagi ini dan menyingkirkan segala rasa malu dan gengsi. Beberapa kali aku menawarkan sebotol minuman namun hasilnya sama, tidak ada yang membeli satupun. Hingga terlihat sebuah bus yang baru saja parkir disebelah selatan, aku berinisiatif berpindah tempat kesana.

Baru saja melangkah tiga meter dari tempat semula, suara panggilan membuatku terhenti.

“Mbak air dinginnya satu.” Teriak seorang laki-laki berkaos hitam, salah satu rombongan dari bus yang baru saja aku hampiri. Dengan senang hati aku membuka box biru dan menyerahkan sebotol air dingin.

Satu lembar uang dua puluh ribu ia berikan. “Kembali lima belas. Sebentar ya”

“Gak usah, buat mbaknya aja.” Aku terkejut sekaligus senang. Hujanan terima kasih aku berikan pada laki-laki itu. Siapapun dia, semoga Tuhan membalas kebaikannya.

Detik berikutnya aku beranjak pergi mencari pembeli lainnya. Beberapa wisatawan mulai berdatangan dari berbagai penjuru daerah. Hal itu tentu menjadi ladang rezeki untukku. Meskipun sering kali terbesit rasa iri kepada mereka yang bisa menikmati indahnya suasana Yogyakarta dengan segala kuliner di Malioboro.

Sepasang anak muda yang sedang kencan duduk sambil menyeduh wedang jahe atau pun seorang ibu yang sibuk memilih-milih baju untuk anaknya, dan para wisatawan yang memborong oleh-oleh untuk sanak keluarga. Dimana orang bercerita tentang indahnya kota ini dan berlomba-lomba untuk datang kesini. Lain denganku yang harus berjuang mencari rupiah ditengah-tengah orang berlibur.

Sudahlah, aku tidak ingin terlarut dalam kesedihan. Bagiku, saat ini adalah kehidupan yang harus diperjuangkan, memikirkan bagaimana bertahan hidup dan merubah nasib di masa depan.

Simpang Malioboro dengan KisahnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang