02 ✨ Tangisan Si Bungsu

7.3K 1.1K 342
                                    

Malam itu, Haikal akhirnya menyerah pada desakan Arga dan memasuki kamarnya. Namun, keheningan ruangan yang seharusnya menawarkan ketenangan justru menjadi saksi bagi kegelisahan yang menggerogoti hatinya. Ia duduk di tepi ranjang, punggungnya membungkuk, pandangannya kosong menatap lantai yang gelap. Rasa kantuk tak kunjung datang. Matanya tetap terjaga, menolak untuk terpejam, seolah takut bahwa tidur akan membuatnya kehilangan lebih banyak lagi.


Jam berdetak pelan, detik demi detik terasa seperti luka yang semakin dalam. Haikal menggenggam selimutnya erat, berusaha menahan diri dari gemuruh emosi yang terus mendesaknya. Namun hatinya terus berteriak, mendesak untuk keluar, untuk bertemu dengan Jendral sekali lagi, meski ia tahu bahwa yang ia temukan nanti hanyalah gundukan tanah basah.

Di kamar yang sama, pukul tiga pagi, Arga mengunci dirinya di dalam kamar mandi. Ia duduk di dalam bathtube, tubuhnya yang kaku tak bergerak, hanya ditemani oleh air dingin yang merendam tubuhnya. Udara dingin malam meresap ke dalam tulang. Namun, Arga tak merasakannya. Pikirannya melayang jauh, kembali ke hari-hari ketika Jendral masih bersama mereka-ketika tawa dan canda mereka memenuhi ruangan.

Namun, ingatan itu kini terasa seperti pedang bermata dua. Setiap kenangan yang muncul hanya memperparah rasa sakit yang menghimpit dada Arga, membuat air mata yang sedari tadi tertahan akhirnya mengalir tanpa henti. Tangannya gemetar saat ia mencoba mengusap wajahnya yang basah. Namun, air mata terus saja turun, seakan tak pernah habis.

"Jendral ...."

"Gue minta lo istirahat ... tapi bukan istirahat ini yang gue maksud." Ia menggigit bibirnya, menahan tangis yang semakin menjadi. "Lo paham bahasa gue gak sih, Jen? Gue nggak mau lo pergi kayak gini ...."

Di lantai atas, suara ketukan pelan terdengar di pintu kamar Marka. Aji berdiri di depan pintu dengan segelas teh hangat di tangannya. Tanpa menunggu izin, ia mendorong pintu yang sedikit terbuka, membiarkan cahaya dari lorong masuk ke dalam ruangan yang gelap. Hanya ada sedikit cahaya dari luar yang berusaha menembus tirai yang tebal, memberikan nuansa suram pada kamar itu.

Marka duduk di lantai, bersandar pada sisi tempat tidurnya. Pandangannya kosong, terarah ke depan seolah tak ada yang benar-benar dilihatnya. Aura kesedihan yang begitu pekat melingkupi ruangan itu, membuat siapa pun yang memasukinya bisa merasakan beban yang tak terucapkan.

Aji berjalan mendekat, duduk di samping sahabatnya yang terlihat begitu rapuh. Ia meletakkan teh hangat di depan Marka, berharap minuman itu bisa sedikit menghangatkan hati yang beku dalam kesedihan. Perlahan, Aji menyentuh bahu Marka, dan pemuda itu tersentak seolah baru tersadar dari lamunan panjang.

"Aji," suara Marka terdengar serak, hampir seperti bisikan.

"Bang, gue buatin teh. Minum ya," ucap Aji, suaranya lembut, penuh perhatian. Senyum tipis menghiasi wajah Marka, meski rasa sakit masih jelas tergambar di matanya. Ia menatap Aji, member yang paling muda di antara mereka, lalu mengulurkan tangan untuk menyentuh pipinya.

"Makasih ya," bisik Marka.

Aji hanya mengangguk, tak banyak kata yang bisa diucapkan.

"Anak baik," lanjut Marka, nadanya penuh dengan kehangatan yang tersisa dari hati yang remuk.

"Hmm?" Aji menatap Marka, mencoba membaca pikirannya. Namun sebelum ia bisa berkata apa-apa, Marka menariknya untuk bersandar di sisinya, mencoba membagi sedikit kenyamanan di tengah kekosongan yang melanda.

"Aji, Abang tau lo juga hancur," ujar Marka, "Tapi lo sibuk nguatin semua member. Harusnya gue yang lakuin itu sebagai leader, tapi gue malah sibuk merenung di sini."

Air Mata Di Pintu November {Ongoing}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang