Jeongguk
Kesempatan buat bertemu dengan mbok Taeyeon jadi terhalang oleh keadaan. Mulai dari kantornya yang rewel, perempuan itu memilih menetap di Karangasem untuk beberapa waktu, dan kedua keponakannya yang ikut mengemasi barang. Kediamannya di Gianyar jadi sepi. Tersisa cuma dirinya saja disini. Tanpa kawan dan tanpa ocehan beberapa orang yang kadang memarahinya karena masalah sepele. Betapa nostalgianya momentum itu. Seluruhnya jatuh berbalik cuma karena satu kejadian tidak terduga yang Jeongguk pribadi juga tidak mau terjadi. Betapa waktu seakan begitu kejam menghukumnya yang sudah tertatih-tatih meraung di atas tanah berpasir. Mencoba mencari cara untuk kembali bangkit tapi harus kembali jatuh dan ambruk lagi. Kini masanya telah datang. Setelah kedua kakaknya bangkit, Basuki bukan lagi makhluk kesepian yang mencari-cari naungan. SeokJin dan Namjoon tidak lagi sebatas gambaran memori yang harus Jeongguk genggam erat supaya tidak hilang. Mereka nyata adanya.
Pukul tiga sore dan ia sudah meminta izin Seulgi untuk cuma bekerja sampai setengah hari. Berat rasanya harus kembali menatap dua layar monitor kantor dengan beban keadaan yang belum sepenuhnya stabil. Beberapa orang yang bekerja di kantor juga sesekali menanyakan keadaannya. Kini melebur sudah dusta yang selama ini ia bangun dengan susah payah. Kalau ternyata supervisor Vampirina bukan cuma sekadar lelaki ganteng, punya senyum manis, tinggi tegap, dan susah digapai. Ternyata alasan dibalik sikapnya yang disalah artikan menyembunyikan satu fakta yang tidak semua orang tahu. Kalau darah Basuki mengalir deras di dalam tubuhnya. Membuat eksistensinya bukan cuma sekadar manusia biasa yang bisa mengambil posisi supervisor di usia muda.
"Kalau mbokmu ndak ikut-ikutan rebutan kamu, pasti dia sudah masakkan lawar, ya." Namjoon membawa sekotak kembang segar yang hendak ia gunakan sembahyang di merajan kediaman Taeyeon. "Masakan kesukaan ci dari dulu."
Jeongguk cuma mengangguk pasrah. Tidak terpikir jawaban atau sekadar menimpali pakai topik lainnya. Beberapa hari, sekat jari itu tidak pernah absen dari cerutu. Kesempatan menganggurnya cuma diisi dengan melamun memikirkan hal-hal sekitaran atau jadi perokok berat.
"Jaga kesehatan, Jeongguk," ujar Namjoon. Setelan serba putih dari atas kepala sampai ke kamennya, menjadikan sosoknya terlihat begitu hidup. Setelah sekian lama Jeongguk mampu kembali mengingat bagaimana gagah dan menawannya sang kakak yang jadi poros hidupnya. "Kalau banyak yang dipikirkan, cerita saja ke bli SeokJin."
"Kalau ke bli sendiri, gimana?"
"Ke aku?" Tubuh Namjoon duduk di atas kursi kayu, samping rumah. Sekotak kembangnya dipangku dan sesekali dicium. Mungkin memastikan kalau masih segar. "Selama ini, ci ndak pernah cerita apa-apa ke aku bahkan mulai dari zaman Klungkung."
"Ya." Jeongguk setuju. Memang ia tidak pernah terasa begitu dekat dengan kakak keduanya. Selama ini, tugas Namjoon cuma meredam emosi SeokJin yang terkadang kuwalahan akan sikap adiknya yang keterlaluan. Kadang juga memberi petuah sepatah-sepatah supaya Jeongguk tidak kelewatan. "Kalau anugerah datang sama malapetaka, bli lebih milih anugerah dulu yang datang atau malapetaka duluan?" tanyanya.
"Harus pilih?"
"Iya."
"Kalau kita ndak tahu apa yang datang ke kita, gimana?"
Jeongguk menelaah kalimat yang baru saja dilontarkan padanya. "Jadi tergantung kita mengartikannya gimana, begitu?"
"Kayaknya begitu." Manik kelam Namjoon kelihatan lebih pekat. Entah karena Jeongguk sudah absen memandangi sepasang kelereng kakaknya atau karena cahaya matahari sore yang hendak tenggelam. "Baik manusia ataupun kita, ndak ada yang tahu apa yang datang. Ida bhatara mungkin yang lebih tahu. Dan tentu saja Hyang Widhi," ujar Namjoon. "Kita makhluk yang cuma tahu diutus. Jalannya, itu rahasia Dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dewananda [kookmin]
Fanfiction[ ON REVISION WITH ADDITION SCENE ] : KookMin Indonesian's Mythology: Legenda Naga Basuki Ia tidak pernah menanti sebuah ampunan yang datang dari Sang Hyang Widhi. Biarlah nanti ia menerangi jalannya sendiri. Tapi mengapa sosok itu datang dan membua...