Tiga Puluh Enam

421 77 33
                                    

Jeongguk

Lebatnya hujan dengan suka rela membantu Jeongguk meredam suara Jimin yang mungkin sudah tidak terkira kencangnya. Membiarkan anak itu meraung dan beberapa kali memporak porandakan sprei kasur. Beberapa kali lengannya terulur, menarik tubuhnya supaya bisa kabur. Merangkak sepihak tanpa sadar bahwa sebagian tubuhnya bahkan berserah diri pada Jeongguk yang masih setia menggenggam lingkar perutnya. Sekuat apapun Jimin bergerak atau memberontak, semakin kencang Jeongguk dorong gairah nikmat yang tengah ia kerjakan.

"Mau kemana?" bisik Jeongguk rendah. Telapaknya berhasil menangkap kedua pergelangan tangan Jimin yang menari-nari mencari pertolongan. Ritmenya berangsur pelan dan lambat. Menyisakan ruang untuknya berbicara lebih panjang dan kesempatan untuk mendengar Jimin meracau.

"Sebentar saja." Suara itu beradu dengan napasnya yang pendek-pendek. "Aku mau minum sebentar," tambahnya.

"Air putih?"

"Ya, ya." Jimin manggut-manggut pasrah. Sudah tidak lagi peduli mencari-cari cara kabur karena apapun yang ia lakukan, selalu berakhir di posisi yang serupa. "Minta tolong ambilkan di kulkas, Jeongguk."

Jeongguk tidak perlu tenaga lebih untuk sampai di depan kulkas dan menghidangkan segelas air dingin yang mengembun. Agaknya Jimin jauh lebih rileks. Dari tubuhnya yang bergetar hebat akibat panik, buai tangannya yang seolah meminta tolong Jeongguk untuk menariknya dari kolong kesengsaraan. Ciuman sepihaknya juga Jeongguk rasai, kali ini lebih intens. Seolah anak itu benar-benar ingin lari ke tempat lain. Ke suatu daratam. Dimana ia cuma bisa tertawa bahagia tanpa rasa takut dan khawatir. Bercakap ringan soal bagaimana masakan yang ia buat atau hal sepele seperti apakah kembang di depan rumah sudah mekar. Sederhana tapi amat bermakna. Setidaknya untuk Jimin di situasi buruk seperti ini. "Mau dilanjutkan?" tanya Jeongguk setelah Jimin menenggak beberapa kali air dari dalam gelas.

"Boleh?" Alih-laih menjawab, Jeongguk justru disuguhkan pertanyaan lain.

"Tentu." Jeongguk tidak pernah keberatan. Apa saja bakal ia usahakan untuk Jimin. Bahkan jika anak itu memintanya untuk keluar dari Bali dan bersembunyi di hutan belantara sekali pun, Jeongguk bakal lakukan. "Di atas mau?" tawarnya.

"Di atas?" Beberapa detik Jimin berpikir sampai pipinya merekah kemerahan. "Aku belum pernah ada di atas, sih. Takutnya tidak bisa."

"Ndak ada yang ndak bisa kalau kita lagi begini."

"Kalau kamu tidak suka bagaimana?"

"Memangnya aku pernah bilang kalau aku ndak suka, selama ini?"

Jimin ragu-ragu menggeleng. "Belum."

"Bukan belum." Gelas dalam genggaman Jimin berpindah pada tangan orang yang lain. "Memang ndak akan pernah." Tubuh yang tidak lagi terhalang sehelai kain pun itu diangkat Jeongguk lebih tinggi. Mendudukkannya di atas pangkuan dan membiarkannya memilih posisi seperti apa yang Jimin inginkan. "Kalau malu, jangan lihat aku."

"Gimana caranya tidak melihat kamu, kan, kamu di depan muka?" Sambil bersungut-sungut Jimin mencari-cari kepuasannya sendiri. Badannya beberapa kali harus menggeliat antara merinding atau belum nyaman. Darinya yang canggung dan tidak berpengalaman, Jeongguk bisa tarik kesimpulan bahwa pemuda ini belum pernah membawa kontrol apapun di hidupnya. Baik hubungan percintaan, keluarga, atau lainnya. Ia benar-benar kelihatan baru saja menjejak di tanah lapang yang luas. Mendapat tugas membuat api unggun tapi bukan ia yang mengerjakan. Justru orang lain. Bukan karena tidak mampu, tapi tidak pernah diizinkan untuk mampu.

"Ya, Jimin." Tugas Jeongguk disini cuma sebagai menyokong. Memberikan orang terkasihnya dorongan supaya tidak lagi tersisa keraguan pada Jimin. "Pelan-pelan begitu." Ia genggam dua telapak yang mencari-cari pegangan. Tidak begitu lihai menari dan memilih untuk didominasi. Tapi Jeongguk punya ide lain. Perlahan, ia harus ajarkan Jimin untuk bisa memilih apa yang ia suka di dalam hubungan dan apa yang tidak. "Enak?" tanyanya.

Dewananda [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang