1. Pertemuan

14 3 0
                                    

Semilir angin menyapu jalanan di sore hari itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Semilir angin menyapu jalanan di sore hari itu. Suasana yang sejuk menambah kesan sendu bagi orang yang melewati jalanan itu. Sungguh alam ciptaan Allah sangatlah indah. Bogor. Salah satu kota hujan yang terkenal akan sejuknya. Seperti pada kisah di Bogor hari ini, rencana Allah tidak ada yang tahu. Kisah cinta umatnya sudah disusun sesuai skenario terbaik-Nya.

Sudah cukup membicakan tentang Bogor. Disinilah sebuah keluarga tiba di depan sebuah rumah sederhana bernuansa hijau itu. Perkenalkan itu adalah keluarga pindahan dari Jakarta. Beberapa hari yang lalu semua barang sudah masuk ke rumah baru tersebut, jadi hari ini mereka hanya membawa diri mereka sendiri menggunakan sebuah mobil avanza hitam.

"Dhiya, gimana berkas kerja kepindahan kamu?"

Tanya seorang pria paruh baya yang baru saja duduk menyeruput kopinya di sofa dan juga merupakan kepala keluarga itu kepada salah satu anak perempuannya bernama Dhiya Lafatunnisa.

"Udah beres pak. Besok aku udah mulai masuk kerja."

Dhiya tersenyum simpul sambil memakan berbagai camilan sisa perjalannya di mobil tadi. Dhiya merupakan perempuan lulusan apoteker yang baru satu tahun lulus dan bekerja di Jakarta. Dikarenakan ia harus pindah rumah sementara di Bogor, ia terpaksa pindah juga tempat kerjanya di sebuah puskesmas Mawar Jaya yang lumayan dekat dari rumahnya.

"Dhiya, tolongin ibu ngebungkusin kue buat nanti malam syukuran sekaligus perkenalan sama warga sini."

Seorang wanita paruh baya yang sedang berkutik di dapur sejak memasuki rumah barunya itu memanggil anaknya.

"Ngapain pake syukuran sama kenalan bu? Ntar juga kita kenal sendiri."

"Kita enam bulan bakal tinggal di sini. Kita harus sopan. Bagaimanapun juga kita disini sebagai tamu atau orang yang numpang sementara."

Dhiya mengerucutkan bibirnya lalu membantu ibunya untuk membungkus berbagai kue. Sesekali ia mengeluh karena punggungnya pegal ingin sekali tidur atas perjalanan panjangnya tadi menuju ke sini.

☘☘☘

Acara syukuran dan perkenalan itu dimulai tepat sehabis solat isya di sebuah masjid dekat rumah Dhiya. Berbagai macam kue dan hidangan lainnya sudah tersaji di tengah ruangan. Dhiya duduk disamping adik perempuannya yang masih berusia 15 tahun. Sementara ibu dan bapaknya menyalami serta berbincang dikit dengan warga yang sudah berdatangan sambil menunggu lebih banyak warga lagi datang.

Mata Dhiya melihat warga sekitar namun matanya tertuju pada sesosok laki-laki berkacamata yang menggunakan kemeja serta celana bahan. Laki-laki itu duduk di pojok agak jauh dari keberadaan Dhiya. Setelah beberapa menit tatapan Dhiya terpaku pada sosok itu, yang ditatap pun merasa ada yang menatapnya lalu terpautlah kedua mata itu pada Dhiya.

Dhiya yang kaget buru-buru memutus kontak mata itu lalu berpura-pura mengambilkan sebuah jeruk untuk adiknya. Selang beberapa menit, mesjid sudah dipenuhi warga. Acara itupun dimulai dengan bapaknya Dhiya yang memimpin juga dibantu RT dan salah satu ustadz pemilik masjid ini.

Acara pertama dibuka dengan pembacaan ayat suci al-quran, dilanjutkan sambutan oleh kedua orang tua Dhiya dan memperkenalkan diri. Setelahnya acara diambil alih oleh RT.

"Assalamualaikum para warga Mawar Jaya, setelah perkenalan keluarga baru yang juga akan menjadi warga kita dimohon untuk saling tolong menolong dan saling menyayangi agar keluarga pak Zaenal betah selama tinggal di sini." Ketua RT berbicar dengan lantang dihadapan semua warganya.

Setelahnya dilanjutkan dengan informasi kegiatan warga, kebiasaan-kebiasaan warga, peraturan, dan juga beberpa warga bercerita pengalamannya selama menjadi warga di kelurahan Mawar Jaya. Lain halnya dengan Dhiya yang sedari tadi tidak menyimak pembicaraan itu. Ia malah terfokus pada sosok laki-laki berkacamata yang sedari awal sudah membuatnya penasaran.

Dhiya melihat bagaimana laki-laki itu fokus mendengarkan arahan RT tanpa menyadari sedari tadi Dhiya menatap kearahnya tanpa berpaling. Laki-laki itu terlihat masih muda dengan tubuh tingginya dan kulit sawo matangnya. Jangan lupakan senyumannya ketika ia tertawa yang membuat dada Dhiya berdetak kencang.

Tepat ketika jam 10 acara syukuran dan perkenalan itu selesai. Para warga sudah mulai membubarkan diri dari masjid itu. Tak lupa membawa bingkisan nasi kotak sebagai hadiah dari keluarga Dhiya. Dhiya melihat sosok laki-laki itu yang sudah berjalan meninggalkan masjid. Dhiya enggan untuk mengajaknya berkenalan karena malu.

☘☘☘

Keesokan harinya tepat pukul 4 pagi, Dhiya sudah terbangun di kamarnya lalu ia menceritakan tentang sosok laki-laki itu kepada sahabatnya yang merupakan teman kuliahnya. Dengan wajah yang sumringah serta dada yang berdetak kencang, Dhiya mulai mengetik curhatannya di layar ponselnya.

 Dengan wajah yang sumringah serta dada yang berdetak kencang, Dhiya mulai mengetik curhatannya di layar ponselnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seketika Dhiya dilanda ovethingking. Bagaimana jika lelaki itu sudah berkeluarga? Baru saja Dhiya menyukai pada pandangan pertama, masa harus musnah begitu saja? Suara ibunya Dhiya membuyarkan lamunan Dhiya.

"Dhiya, solat subuh dulu."

"Gak sempet bu. Kan aku mulai masuk kerja jam 7."

"Alesan aja kamu!"

"Beneran bu tar aku telat kalo solat."

Ibunya Dhiya menghela napasnya berat. Ia sudah lelah dengan berbagai alasan Dhiya yang menolak untuk solat. Entah menolak atau mungkin Dhiya malas untuk mengerjakan ibadahnya. Padahal kedua orang tua Dhiya sanfat rajin beribadah dan paham tentang agama namun masih belum berhasil membujuk Dhiya untuk solat sejak Dhiya aqil balig.

Dhiya sudah selesai mandi. Ia menggunakan rok hitam span dengan kemeja biru dongkernya yang sedikit ketat. Lalu memakai kerudungnya dengan mengikatnya ke belakang lehernya. Tak lupa memakai kacamatanya dan juga jas putih apotekernya.

"Kamu mau jalan sendiri apa dianter bapak?"

"Sendiri aja pak. Kan deket. Aku juga dah tau arahnya."

"Ya udah hati-hati."

Selesai memakai sepatunya, Dhiya langsung berjalan membuka pintu pagar namun ditahan oleh ibu dan ayahnya.

"Salim dulu. Biasain salim." Ibunya Dhiya memperingati anaknya.

Dhiya segera menyalami kedua orang tuanya lalu berjalan menuju puskesmas dengan menggunakan angkutan umum yang tidak jauh dari rumahnya. Perjalanan ke puskesmas juga tidak macet karena angkutan umum tersebut melewati jalan tikus yang jarang dijamah oleh pengendara lain.

Baginilah sikap Dhiya dari dulu. Yang selalu membuat kedua orang tuanya kebingungan walaupun sering dinasehati berkali-kali. Bahkan saat selesai bersalaman pun Dhiya langsung berangkat tergesa-gesa sampai tidak mengucapkan salam kepada orang tuanya padahal jam baru menunjukkan pukul 6 pagi Memang anak zaman sekarang sudah dibutakan teknologi sampai sulit untuk diajak mengingat Allah.

Inilah kisah Dhiya Lafatunnisa dimulai. Perjalanan perempuan akhir zaman itu dalam menempuh perjalanan akhiratnya. Sebagaimana yang dilantunkan pada surat dalam al-quran.

"Siapa yang berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di bumi ini tempat yang luas dan rezeki yang banyak." Q.S Al-Nisa 4:00

BERSAMBUNG

𝗛𝗶𝗷𝗿𝗮𝗵 𝗖𝗶𝗻𝘁𝗮 𝗗𝗵𝗶𝘆𝗮Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang