2. Puskesmas

10 3 0
                                    

Puskesmas Mawar Jaya yang letaknya tepat disaping jalan raya itu tampak besar dan megah dengan balutan warna putih bersihnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Puskesmas Mawar Jaya yang letaknya tepat disaping jalan raya itu tampak besar dan megah dengan balutan warna putih bersihnya. Maklum saja, puskesmas itu merupakan salah satu puskesmas terbaik di wilayah Bogor. Angkutan umum yang dinaiki Dhiya berhenti di tikungan puskesmas tersebut yang membuat Dhiya berjalan kurang lebih lima belas meter. Dhiya tersenyum begitu kakinya memasuki gerbang puskesmas itu. Ia sudah disambut oleh kepala puskesmas itu.

"Selamat datang mba Dhiya."

Wanita beraut wajah tegas dengan rambut yang terurai ikal menggunakan jas dokternya itu menghampiri Dhiya sambil tersenyum dan berjabat tangan dengan Dhiya.

"Terima kasih dok."

"Saya antar kamu ke ruangan para dokter dulu ya untuk perkenalan, setelah itu nanti kamu saya antar ke ruang kerja kamu."

Dhiya mengikuti kepala puskesmas itu yang ber nametag dr. Christina Vernanda, Sp.N. Sesekali Dhiya berbincang sambil matanya melihat sekeliling puskesmas itu yang terdapat mobil ambulan, pasien yang sudah mengantri padahal masih pagi, dan juga slogan-slogan kesehatan yang terpajang disudut puskesmas tersebut.

Mereka menaiki tangga lalu setelahnya berhenti di depan sebuah pintu. Dokter Christina membuka pintu tersebut yang sudah disambut sekitar tiga puluh dokter di dalam ruangan tersebut. Dhiya tersenyum ramah lalu mengekori dokter Christina dan duduk disampingnya.

"Selamat pagi semuanya, maaf mengganggu waktu kerjanya. Saya ingin memperkenalkan apoteker yang akan bekerja di puskesmas ini, silahkan memperkenalkan diri mba."

"Assalamualaikum, selamat pagi ibu dam bapak dokter, perkenalkan nama saya Dhiya Lafatunnisa biasa dipanggil Dhiya. Mohon bantuannya selama saya kerja disini."

Tepat ketika Dhiya selesai berbicara, matanya menangkap sosok laki-laki yang kemarin malam membuat jantungnya berdebar. Laki-laki tinggi berkacamata yang ia temui di masjid ketika acara syukuran keluarganya. Dhiya segera membuang pandangannya itu. Masih dengan dada yang berdebar, telapak tangan yang mulai mendingin.

'Mungkin aku cuma kagum doang gara-gara selama ini aku nutup hati buat cowo. Pasti aku tertarik cuma gara-gara dia masih muda terus manis.' Batin Dhiya menenangkan debar di dadanya.

Setelah selesai berkenalan dengan semuanya, Dhiya diantar ke ruangan kerjanya sekaligua diberitahu tempat-tempat obat yang diurutkan dan dipisahkan sesuai nama, kandungan, warna, dan jenisnya. Dhiya yang sudah paham mengangguki penjelasan itu, lalu dokter Christina meninggalkan Dhiya di dalam ruangan itu. Sekitar lima belas menit lagi para pasien sudah dimulai berobat yang artinya Dhiya harus bersiap melayani resep obat dari para dokter.

Selagi meninggu pasien yang membawa resep obat, Dhiya duduk lalu kembali curhat kepada sahabat kuliahnya tentang laki-laki yang sejak kemarin malam sampai sekarang menarik perhatian Dhiya.

Selagi meninggu pasien yang membawa resep obat, Dhiya duduk lalu kembali curhat kepada sahabat kuliahnya tentang laki-laki yang sejak kemarin malam sampai sekarang menarik perhatian Dhiya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dhiya meneruskan kerjanya mengambil kertas resep yangdiberikan pasien lalu mulai meracik obatnya. Kepalanya masih dipenuhi oleh laki-laki itu. Dhiya memikirkan bagaimana caranya berkenalan dengannya.

🍀🍀🍀

Suasana puskesmas mulai sepi, beberapa dokter keluar dari ruangan kerjanya sepeeti ugd, igd, dan juga ruangan rapat. Tidak terasa sudah jam 12 siang, kegiatan dipuskesmas dihentikan sementara untuk ishoma (istirahat, solat, makan) para dokter dan staf. Dhiya yang belum memiliki teman berinisiatif ke ruang dokter. Padahal niat Dhiya hanya untuk melihat lelaki itu.

"Mba sini makan bareng."

Salah satu dokter wanita menghampiri Dhiya lalu mengajaknya makan bersama di ruang dokter. Sambil mengobrol, Dhiya melihat lelaki itu yabg masih sibuk mencatat lalu setelahnya lelaki itu berjalan menuju mushola yang tepat berada di samping ruangan dokter. Dhiya langsung terburu-buru menghabiskan makananya lalu berdiri.

"Saya solat dulu ya bu dokter."

Setelah diangguki oleh dokter wanita itu, Dhiya segera berjalan ke musholla yang sudah agak ramai. Biasanya Dhiya malas solat terlebih lagi jika jamaah. Sangat lama dan membuat pegal pikirnya. Dhiya mengambil air wudhu lalu memasuki musholla mengambil mukena yang sudah disediakan. Lalu duduk sambil menunggu adzan selesai berkumandang. Tepat di depannya ada sosok lelaki itu yang sepertinya sedang melaksanakan solat sunah. Dhiya terus memandanginya.

Salah satu dokter yang terlihat seperti ustadz itu membisikkan sesuatu kepada lelaki itu. Lelaki itu langsung maju ke depan tempat imam lalu mengumandangkan iqomah. Dhiya membulatkan kedua matanya. Lantunan iqomah yang dilantunkan oleh lelaki itu sungguh membuat jantung Dhiya tambah berdabar, juga rasa sejuk pada hatinya.

Solat zuhur pun dimulai dengan khidmat secara berjamaah. Beda halnya dengan Dhiya yang matanya sesekali melihat ke depan. Melihat punggung lelaki yang sedang khusyuk melaksanakan solat.

Setelah selesai solat berjamaah dan berdoa, Dhiya melihat lelaki itu keluar meninggalkan masjid. Dhiya terburu-buru melepas mukenanya lalu menaruhnya di tempat semula. Namun ketika ia sudah keluar masjid hendak memakai pantofelnya, lelaki itu sudah berjalan pergi entah kemana.

🍀🍀🍀

Dhiya berjalan kembali menuju ruangan kerjanya. Mengapa sulit sekali untuk mengajak lelaki itu berkenalan? Raut wajah Dhiya mulai masam. Ia kembali melayani resep obat. Dhiya iseng melihat berbagai resep obat itu yang terdapat nama dokter berbeda-beda. Baru hari pertama Dhiya belum mengenal siapa-siapa kecuali dokter Christina dan dokter wanita yang tadi mengajaknya makan bersama.

Tidak terasa sudah jam pulang. Dhiya bingung karena ia anak baru apakah harus menunggu para seniornya pulang terlebih dahulu atau pulang sesuai ketentuan jam. Akhirnya Dhiya memutuskan untuk menunggu para senior pulang sekaligus ingin melihat lelaki idamannya itu. Dhiya kembali menuju ruangan dokter untuk berbincang sekilas dengan dokter wanita yang tadi dikenalnya namun dokter itu tidak berada di sana karena masih melayani pasien dadakan.

Dhiya duduk menunggu sambil sesekali matanya melihat ke lelaki berkacamata itu. Lantunan adzan asar berkumandang, lelaki berkacamata itu menutup laptopnya lalu berjalan menuju musholla. Lagi-lagi Dhiya mengikutinya untuk ikut solat asar berjamaah. Siapa tau lelaki itu yang iqomah lagi, syukur-syukur jika lelaki itu yang menjadi imam.

Firasat Dhiya benar, lelaki itu melakukan iqomah lagi. Dada Dhiya kembali berdebar mendengarnya. Sepertinya demi bisa melihat dan bertemu lelaki itu, Dhiya rela solat zuhur dan asar di musholla ini bahkan menambah jam kerjanya sekitar dua jam.

Dhiya tidak khusyuk solat bahkan tidak terlalu fokus membaca bacaan solat. Ia solat dengan memikirkan siapa nama lekaki itu, dokter bagian apakah lelaki itu, apakah sudah menikah atau belum, berapa umurnya, dan Dhiya ingin sekali meminta sosial medianya. Dhiya sangat penasaran terhadapnya. Mungkin mulai besok, Dhiya akan mencari tahu tentang lelaki itu bagaimanapun caranya.

Selesai solat asar, lagi-lagi Dhiya telat menghampiri lelaki itu yang sudah keluar dari musholla. Helaan napas terdengar, Dhiya langsung saja menuju ruangannya mengambil tas lalu bersiap untuk pulang. Ia tidak sabar menantikan hari esok, atau bahkan siapa tau bertemu di lingkungan rumahnya karena lelaki itu merupakan warga Mekar Jaya.

BERSAMBUNG

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 01, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

𝗛𝗶𝗷𝗿𝗮𝗵 𝗖𝗶𝗻𝘁𝗮 𝗗𝗵𝗶𝘆𝗮Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang