4. Tertegun

7 1 0
                                    

Dan di sinilah gue sekarang. Di gedung pernikahan nyokapnya Tari. Memakai dress batik salak, bersama Raden adek gue tercinta.

Setelah bersalaman dengan pengantin dan mengambil makanan. Gue dan Raden duduk di kursi dekat prasmanan. Ya yang deket deket aja biar gak ribet.

Tari? Masih ngobrol dengan ibunya dan calon bapak dia. Omong-omong gue bakal spill dikit nuansa gedung di sini.

Untuk dekorannya bagus banget, mana adat Jawanya kentel gitu. Makanya gue pakai batik karena diundangannya sudah tertera bahwa para tamu undangan diharapkan untuk menggunakan batik, ya selebihnya seperti itu. Dan gak ketinggalan dengan alunan musik gamelan yang langsung ditabuh di tempat. Bener-bener mantep deh, berasa di keraton gue.

"Gue ke kamar mandi dulu." Raden bersuara. Gue mengacungkan jempol merespon apa yang dia katakan. Sembari lanjut makan dan beberapa kali mata gue melirik ke sekitar.

Seseorang menarik kursi di samping gue setelah Raden pergi, yang membuat gue mengerutkan dahi heran dan kemudian menoleh ke arahnya.

"Sendirian?" Oh shit! Kenapa harus ketemu secepat ini sih?! Mana si Raden baru aja pergi. Gue memasang tampang bingung, pura-pura gak kenal. Mengabaikan tatapan yang begitu intens ia tunjukan ke gue.

"Maaf siapa ya?"

Dia terkekeh geli, dan gue tertegun sejenak. "Lo pura-pura lupa atau memang beneran lupa sama gue?" Tanyanya kemudian dengan senyuman miringnya.

Tanpa sadar mulut gue bersuara, "sejak kapan lo bisa ketawa?" Dan dengan gerakan kilat gue bekap mulut gue sendiri. Ih ngapain nanya begoo! Gue berkilah. "M-maksud gue, itu eh ..."

Dia menoyor kepala gue pelan, gue pun melotot melihat tindakannya, wah gila gak sopan banget nih orang!

"Udah gak usah pura-pura, akting lo jelek tau." Katanya sambil tersenyum tengil.

Dan ekspresi tersebut malah bikin gue makin terheran, yang gue kenal nih orang ngomongnya irit apalagi mimik wajahnya yang selalu datar.

"Bentar, gue serius. Lo itu siapa?" Tanya gue dengan nada rendah.

"Ya Damar lah, emang siapa lagi?" Masih dengan senyum tengilnya yang terpatri. Damar tiba-tiba mendekat, berbisik di samping telinga kanan gue. "Lo ... cantik banget hari ini." Nada suaranya entah kenapa buat bulu kuduk gue merinding.

Refleks gue menoleh ke arahnya dan itu adalah langkah yang gue sesali, secara hidung kita berdua hampir bersinggungan. Gue melotot marah atas apa yang dia katakan, gue gak bakalan baper karena tau nih orang gak kayak gini aslinya. "Apa maksud lo? Kita gak ada urusan lagi ya!" Gue menggeram rendah.

Damar memundurkan wajahnya, lalu tersenyum miring, "sekedar memuji dan temu kangen aja. Emang gak boleh?"

Temu kangen ndasmuu!

Gue menatap dia sebal, "udah deh sana jauh-jauh dari gue atau-" ucapan gue terpotong. "Atau apa? Teriak? Ya  silahkan sih, lagian gak bakalan ada yang percaya sama lo di sini."

Tangan gue mengepal kuat, tanpa sadar telapak tangan gue tertekan oleh kuku gue yang panjang dan membuatnya berdarah, Damar melihatnya dan dengan lancang mengambil tangan kanan gue sembari dielusnya pelan, "jangan digenggam gitu, entar sakit."

Dengan sengaja gue mengepalnya lebih kuat sambil menatapnya tajam, "lepasin tangan lo dari gue." Geram gue rendah.

Damar melotot khawatir, "En lepas kepalan lo, itu berdarah!" Ucapnya panik. Tangan kirinya menggegam tangan gue dan yang satunya berusaha membuka kepalan tangan gue. Dan itu membuat gue semakin bertambah heran. Nih orang kenapa sih?

"Kenapa lo sepanik itu?" Tanya gue. Dia menatap gue tajam, "lepas kepalan lo dulu En! lep-" ucapan Damar terpotong oleh tangan yang tiba-tiba menggenggam tangan kekar Damar dengan kuat.

"Lepas tangan kotor lo dari dia." Ucap Raden dingin. Seketika itu pula ekspresi Damar yang khawatir hilang begitu saja digantikan dengan raut datar andalannya. Dan dengan cepat pula dia lepas genggamannya dari tangan gue.

"Oh masih berhubungan ternyata." Gue mengerut dahi saat mendengar kata Damar, berhubungan? Apasih maksudnya? Ah udahlah pikir nanti aja, yang penting sekarang gue harus jauh-jauh dari dia.

Gue segera berdiri di samping Raden. "Lama banget sih, habis boker ya lu." Kata gue berbisik. Raden berdeham, padangannya masih saja menatap tajam ke depannya, Damar yang ditatap pun kemudian berdiri, "sori gue gak bermaksud." Setelah mengatakan itu dia pergi menjauh di kerumunan meninggalkan kami berdua.

"Aneh banget tuh orang." Gumam gue mencebikan bibir sebal. "Pulang yuk Den." Lanjut gue sembari menoleh menatap Raden yang dimana si empu sedang memperhatikan tangan kanan gue.

"Tangan lo ..."

"Udah ah ayok, nanti aja di rumah." Gue langsung saja menyeret Raden keluar gedung, urusan pamitan ke Tari nanti sajalah ia whatsapp.

Kami sekarang berada di dalam mobil, menuju ke rumah, dan sedari tadi pula Raden melirik ke arahnya. Entah yang ke berapa kali. Karena risih dan tidak tahan dengan kelakuannya gue pun bertanya. "Kenapa sih lo?"

Raden mengabaikan pertanyaannya gue, kemudian menepikan mobil. "Tunggu." Katanya, lalu keluar dari mobil. Sembari menunggu Raden, gue mengabari Tari bahwa dirinya pulang duluan. Sesaat kemudian Raden kembali dengan kantong kresek putih ditangannya.

Gue meliriknya sekilas kemudian bermain ponsel, membuka game cacing. Raden sibuk mengeluarkan isi dari kresek tersebut, "siniin tangan lo."

"Nanggung Den, bentar." Ucap gue yang masih fokus dan akhirnya ponsel direbut paksa oleh Raden, lalu dilemparkannya ke kursi belakang. "Anjir lu Raden hp gue!" Teriak gue marah.

"Makanya nurut sini!" Dengan kasarnya ia tarik tangan gue yang terluka tadi. Gue hanya mendengus, memperhatikan Raden yang membersihkannya dengan telaten lalu memberinya obat merah dan terakhir ia pasangkan hansaplast. "Dah selesai."

"Lo lebih cocok jadi abang gue deh Den daripada jadi adek." Ucap gue. Raden yang sedang merapikan obat dan sampah hanya berdeham sekenannya. Lalu ia menatap gue, dan mendekat ke arah gue.

"Kenapa sih?" Gue otomatis menyender ke kursi. Tangan Raden menjulur melewati badan gue, mengambil sabuk di samping bahu kiri, lalu dipasangnya dengan benar. Setelah itu Raden kembali ke posisinya. Kemudian melajukan mobil menuju rumah.

Gue berkedip, lalu tersadar akan tindakan Raden, "yaelah Den tinggal ngomong, gue bisa masang sabuk sendiri kali." Kata gue.

"Tangan lo kan sakit." Jawab Raden tanpa menoleh. Gue melotot kaget, "heh tangan gue cuma kegores kuku bukan patah ye!" Sungut gue.

"Ya sama aja sakit." Ucap Raden tak mau ngalah.

Gue memutar mata malas, jengah dengan sikap Raden. "Iyain deh. Gue mau tidur dulu, nanti bangunin ya." Ucap gue akhirnya. Sambil merendahkan kursi mobil agar nyaman untuk ditiduri.

Raden melirik sekilas, kemudian mengangguk.

🚮MANTAN🚮

Akhirnya update juga wkwk.

Vote, komen, share ya kawan-kawan.

Selasa, 21 Nov 2023




Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 21, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MANTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang