1 | Laporan Dusta Terpublikasi

14 0 0
                                    

APA yang akan gue ceritakan malam ini adalah kebohongan.

Namun, gue terus meyakinkan diri kalau dusta itu berskala kecil, seenggaknya cukup porsinya buat melindungi gue dari rasa malu. Lagi pula, ingar bingar di kelab juga bakal menenggelamkan tipuan ini. Ingatan orang-orang akan tersapu dalam satu malam akibat minum bergelas-gelas sampanye, wiski, ataupun brendi Prancis sekelas L'Or de Jean Martell. Harusnya, satu mililiter hoaks nggak bakal semenyakitkan efeknya dibanding mengeluarkan uang masuk sebesar tiga ratus ribu tanpa dapat minuman gratis di dalam nanti.

Tempat yang gue kunjungi ini termasuk upscale club di Jakarta Selatan. Atas nama urusan kantor, gue pernah kemari bersama kolega dan para ekspatriat kalau lagi ada acara tertentu, semisal dapat proyek besar bernilai miliaran dolar, atau sehabis lembur gila-gilaan akhir tahun, atau karena ditraktir auditor eksternal yang mengurusi pemeriksaan laporan keuangan kantor gue, soalnya mereka punya sisa dana yang sudah dianggarkan dalam Out of Pocket Expenses semasa audit. Cuma kalau pergi sendiri seperti sekarang, kok rasanya berat, ya, narik beberapa lembaran merah buat minum-minum cantik yang nggak seberapa lama juga bakal keluar lagi jadi urine?

"NOMI!"

Kalau nggak mengenal si selebgram perempuan bertubuh mungil, pasti gue bakal mempertanyakan kualitas perlengkapan audio yang lagi memutar musik cutting-edge bersuara kencang ini. Soalnya panggilan tadi itu dilafalkan dengan melengking dan sanggup bikin pria-pria yang lagi duduk di meja sebelah menoleh. Gue buru-buru menyapa Sischa yang kayaknya menunggu cipika-cipiki sebelum kembali duduk.

Ada dua table yang sudah dipesan terlebih dahulu, sekitaran enam orang duduk di sofa yang letak mejanya berada di ujung kanan dan gue cuma sekadar lambai-lambai tangan buat menyapa, sementara meja gue sekarang posisinya terapit di tengah. Ujung kiri adalah meja para pria tak dikenal tadi.

Agak penasaran sebenarnya sama satu-satunya lelaki yang matanya mengekori langkah gue sampai pantat ini mendarat di sofa sebelah Sischa. Kami sempat bertatapan sebentar, tapi gue melarikan pandang. Tujuan gue datang ke Nightales buat menghadiri pertemuan yang so-called reunion, bukan kenalan dengan lebih banyak orang asing.

Reuni ini isinya sekelompok orang yang lima tahun lalu tergabung dalam organisasi mahasiswa dari berbagai fakultas dan jurusan. Mereka merupakan deretan orang-orang sukses yang langsung kelihatan dari cara berpakaian, atau seandainya punya kesempatan mengenal lebih dekat, pasti tahu kalau sudah mapan dan masuk ke kriteria idaman. Ya, kecuali gue.

"Geez, Nomi. Lo makin cantik aja, ya," puji Tristan.

Barangkali hanya itu satu-satunya pujian yang paling mudah ditemukan dalam diri ini. Gue mengulas senyum buat Tristan. Di usia 27 tahun, orang-orang di sekeliling gue itu masuk golongan kelas atas. Contohnya cowok yang duduk di depan gue. Tristan, lulusan Teknik Sipil, dan nggak perlu bertanya pun, gue yakin kerjaan sebagai kontraktor insinyur sipil sudah stabil. Jangan-jangan sekarang Tristan sudah punya kantor pribadi.

"Lo jarang banget ikutan ngumpul, kesambet apa?" timpal Orlan.

Kontras dengan Tristan yang berkulit gelap dan kekar, di sebelahnya duduk pria dengan rambut blonde highlights yang dikuncir satu. Wajahnya putih mulus, tipikal lelaki metroseksual yang tahu benar kalau menato area selangka dengan gambar kalajengking bakal bikin wanita melirik dua kali. Sischa kalau hormonnya lagi liar, suka bertanya-tanya sendiri ada tato lain nggak di badan Orlan.

Melalui cerita Sischa dan hasil intip-intip di media sosial, Orlan punya bisnis salon pria dengan sistem waralaba yang belakangan makin menjamur di mal-mal, tarif biaya pangkasnya saja ratusan ribu serta kalau mau potong di sana mesti booking dulu. Orlan ini straight dan dia nggak perlu terlalu berusaha buat narik perhatian, karena dia sendiri punya magnet yang bikin wanita-wanita seksi di kelab ini mondar-mandir buat ngelihatin dia. Tampangnya yang blasteran adalah daya tarik tersendiri.

LOVECONOMICSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang