2 | Orientasi Salah Pasar

6 0 0
                                    

DIBANDING beberapa orang di sekitar gue yang baru setahun pacaran sudah naik ke pelaminan, atau baru kenal semalam langsung bunting bulan depan, hubungan gue dengan Aksen berjalan lambat, antara stagnan atau nggak ada kejelasan. Kami sudah pacaran lima tahun, jadi gue cukup gerah kalau ditanya sama orang-orang kapan bakal mengirim undangan. Bukannya kami nggak pernah membicarakan itu, masalahnya, kami sedang menabung untuk menggelar resepsi, tapi dananya nggak pernah cukup-cukup.

Karena sudah telanjur bilang punya rencana menikah tahun depan, gue jadi was-was seandainya Aksen nggak sengaja tahu kabar ini. Sebetulnya, mereka semua mengenal Aksen karena kami dulu satu kampus. Aksen termasuk kakak tingkat yang cukup populer di kalangan para mahasiswi, adalah pria yang pernah menjadi alasan Sischa masuk organisasi mahasiswa waktu itu, sampai berujung maksa-maksa gue buat daftar kepanitiaan juga. Sejak kami nggak lagi menjabat sebagai pengurus organisasi, Aksen sudah lama keluar dari grup obrolan. Jadi, pria itu pun nggak merasa berkewajiban datang ke acara reunian.

Seharusnya ini merupakan berita bagus yang nggak disyukuri sebelumnya karena gue nggak menyangka kebohongan berlanjut sampai membahas hubungan kami. Tapi, kenapa gue jadi makin galau sehabis mengatakan kabar palsu tadi, ya? Gue menilik sekilas jari manis ini. Perhiasan yang dilihat Orlan bukan simbol pertunangan. Ini aksesori yang dibelikan Ibu sewaktu gue ulang tahun dua bulan lalu. Mungkin Ibu sendiri pun kasihan anaknya nggak kunjung dikasih cincin.

Terjebak perasaan resah karena ulah sendiri itu nggak lucu.

Untung saja ada Sischa yang spontan mengajak berjoget di lantai dansa karena melihat DJ David Guetta mulai memainkan rekaman musik, sehingga gue nggak perlu meneruskan bualan. Malam yang makin larut membuat kelab menjadi ramai serta para pengunjung nggak sabar untuk melepaskan penat dengan berajojing. Sementara gue menolak ajakan Tristan karena ingin pulang lebih awal. Sischa, Meggy, Orlan, dan beberapa alumnus lain sudah menghilang di antara lautan manusia yang berimpitan.

Di luar bangunan sembari menunggu dijemput, gue menghirup udara dalam-dalam meskipun nggak segar-segar amat. Kepala gue berdenyut dan nggak ada gunanya menyesali keputusan untuk datang ke Nightales maupun memilih berbohong. Di setiap acara reuni atau kumpul-kumpul dengan teman yang dikenal sejak sekolah atau kuliah, pasti ada saja orang yang bikin kita terkagum-kagum karena perubahan yang positif.

Dalam kasus gue, terlalu banyak orang yang berhasil menunjukkan kesuksesan mereka. Itu penyebab yang memperjelas kesenjangan sosial bahkan ekonomi antara gue dengan teman-teman lain. Tristan yang keren dengan gelar Doktor, Orlan yang sukses jadi franchisor, Meggy yang intelek dengan karier bersinar, serta Sischa yang sering mendapat tawaran endorsement produk-produk mahal dan bermerek.

Bukannya membanding-bandingkan. Itu fakta yang membuat gue mendesah keras-keras karena sadar bahwa mereka makin naik, gue malah terus mundur. Sekalipun nggak ingin menyamakan kehidupan romansa gue dengan novel fiksi yang berakhir gantung, bertanya terus ke Aksen kapan hendak melamar juga bukan pilihan bijak, justru menjatuhkan harga diri gue sampai di titik minus.

Life is sucks, even I'm trying hard to settle down.

"Do you want a ciggy?"

Kalimat yang berasal dari sebuah suara asing menghentikan bibir ini untuk mengerang putus asa. Pertanyaannya tadi bikin gue heran. Pria mana yang menawarkan seorang wanita buat merokok bareng?

Gue menengadah dan baru sadar kalau posisi gue yang lagi berjongkok di bordes tangga depan bangunan pasti terlihat kayak orang stres. Ternyata pria yang tinggi banget ini setelah gue bangkit berdiri, adalah lelaki yang curi-curi pandang sejak tadi. Dia tersenyum dan luar biasa menawan.

Tangan gue langsung bersedekap dan lagi-lagi nggak menatap balik. Bukan karena sombong, hanya saja nggak tahu kenapa, gue selalu nggak bisa memandang lebih lama atau tersenyum natural jika bertemu orang asing. Kalau dipaksakan, senyum gue pasti terlihat canggung. Meskipun begitu, pria di sebelah masih menunggu jawaban apakah gue akan menerima bungkusan rokok itu atau enggak.

LOVECONOMICSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang