Trigger warning! Mention of panic attack and thinking about self-harming
Tiga Puluh Delapan
Jimin
Getar jemari yang tidak konstan sudah bisa jadi penanda bahwa Jimin kembali dikuasai emosi yang tidak bisa dijabarkan. Batinnya gusar dan terlampau banyak hal yang menyambangi pikiran. Ia tidak diberikan kesempatan menjabarkan satu persatu masalah yang ada. Otaknya memaksa untuk bekerja sampai titik penghabisan. Sampai sang empu tidak lagi bisa merasa sekitaran. Dikuasai oleh ketakutan dan kekhawatiran yang entah kapan bakal berakhir. Tubuhnya berjongkok di balik pintu kamar mandi yang tertutup. Memperhatikan setiap keramik yang tersusun rapi di atas tanah. Mungkin ia bakal merasa lebih baik kalau sesuatu menghantamnya seperti keranjang Bambam, beberapa waktu yang lalu. Sesak di batin bakal beralih menjadi luka fisik. Lebih baik dan bisa diobati ketimbang berputar-putar saja dan menguasai diri. Memuakkan.
"Ngapain di bawah?" Suara Jeongguk menyambangi pendengaran. Tubuhnya yang tinggi menghalangi lampu yang hendak menyoroti Jimin di bawah. Surainya yang panjang sedikit basah dan meneteskan beberapa bulir air. Kedua lengannya yang masih lembab terasa dingin sewaktu membantu Jimin untuk kembali bangkit. Membopongnya sampai ke depan meja. "Kenapa?" tanyanya kemudian. Telapak itu setia menggenggam mesti sang empu cuma sekadar bersandar di atas tepian meja. Berbeda dengan Jimin yang didudukkan di kursi. "Kalau kamu mau tak bopong sampai kemari berarti ndak lagi menunggu aku buat gantian ke kamar mandi, kan?"
Jimin menggeleng. Mengumpulkan niat untuk membeberkan apa yang yang tengah ia pikirkan ternyata butuh nyali yang besar. Selama ini Jimin cukup kagum pada orang-orang yang mampu membuka diri dengan cuma-cuma. Tanpa terlintas soal bagaimana kalau reaksi yang didapat tidak sesuai dengan apa yang digambarkan angan-angan otak. "Susah dijelaskan," katanya, "aku bingung. Kenapa aku selalu seperti ini, ya, Jeongguk? Apa orang lain pernah berperilaku sama seperti aku juga?"
"Apa yang kamu rasakan sekarang?"
"Seperti ada batu yang menggantung di jantung. Sesak dan sakit sekali. Kepalaku juga tidak mau diam."
"Mereka bilang sesuatu?"
"Mereka?"
"Kamu yang lain." Jeongguk mengesampingkan fakta bahwa ia masih bertelanjang dada. Tubuhnya duduk di atas lantai keramik dengan wajah mendongak. Binar manik matanya yang keemasan mampu mengusir panik Jimin pelan-pelan. Perlahan dan lumayan konstan. "Suara-suara yang berbisik kemungkinan-kemungkinan semu ciptaan mereka sendiri."
"Aku tidak yakin kalau itu semu."
"Sesuatu yang belum terjadi berarti tidak nyata," jawab Jeongguk mencoba pengertian. Nada suaranya lembut dan sopan didengar. "Dan kalau tidak nyata artinya itu ada di luar kontrol badan atau otak kamu."
"Tapi kadang.." Jimin tarik napas banyak-banyak, "di beberapa kasus, apa yang aku bayangkan benar-benar kejadian."
Pemuda bertaring panjang itu menyunggingkan senyum tulus. Sebersih kasih yang selama ini ia curahkan pada hari-hari Jimin yang lumayan kelam. "Bukannya hebat? Kamu bias tahu apa yang belum kejadian walaupun ndak semuanya," ujarnya, "tapi, Jimin." Lembut sentuh jemari Jeongguk mendarat dan membasuh pipi Jimin yang mulai memucat. "Alangkah baiknya kita sebagai makhluk yang cuma tahu kalau kita ini diciptakan, ndak sopan buat melangkahi Dia yang mampu menciptakan."
"Tuhan, maksud kamu?"
"Kira-kira bentuk kesempurnaan dari hal yang paling sempurna itu apa?"
"Sempurna itu sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dewananda [kookmin]
Fanfiction[ ON REVISION WITH ADDITION SCENE ] : KookMin Indonesian's Mythology: Legenda Naga Basuki Ia tidak pernah menanti sebuah ampunan yang datang dari Sang Hyang Widhi. Biarlah nanti ia menerangi jalannya sendiri. Tapi mengapa sosok itu datang dan membua...