3. Hujan -1

33 0 0
                                    

Kereta kuda berderak perlahan seiring berjalannya waktu. Maela dan kedua orangtuanya menaiki kereta kuda yang diambil dari salah satu bangsawan yang telah tewas di aula istana.

Barang-barang yang mereka ambil dari mansion mereka hanyalah pakaian dan beberapa kantung emas, sisanya mereka bagikan pada para pelayan yang terpaksa mereka berhentikan.

Mereka hanya membawa seperlunya karena pria yang membawa mereka, Gevariel, berjanji akan memberikan mereka pekerjaan.

Dan ia bilang kalau upah setahunnya akan cukup untuk membeli sebuah rumah dan tanah, pikir Maela mengingat ucapan Gevariel saat mereka tengah mengemas barang-barang di kediaman Vidette.

Kini mereka pun tengah berjalan melintasi hutan perbatasan. Menuju kekaisaran Mauritte yang biasa ditempuh dalam lima hari perjalanan dengan kereta kuda.

Kekaisaran Mauritte, merupakan kekaisaran yang cukup besar. Belum lama ini tersiar kabar kalau Mauritte tengah melakukan perluasan wilayah dengan mengambil kekuasaan kerajaan di sekitarnya.

Dengan melihat kemampuan Gevariel dan pasukan kesatrianya, Maela tidak akan heran jika Mauritte bisa memperluas wilayahnya dengan cepat. Maela akui jika Gevariel memiliki kemampuan sebagai kesatria yang sangat mumpuni, dalam kekuatan dan dalam menyusun strategi perang.

Manik biru Maela pun melirik ke luar jendela, menatap Gevariel yang duduk di atas kudanya di samping kereta kuda yang Maela naiki.

"Kenapa menatapku?"

"Huh?! Ah... Hanya bosan," jawab Maela spontan, tak menyangka akan mendapatkan pertanyaan dari Gevariel yang masih menatap lurus ke depan.

"Tutup jendelanya. Sebentar lagi akan hujan."

Maela mengerjapkan matanya sejenak, sebelum mengernyit heran. Angin memang bertiup agak kencang, tapi mengapa pria itu berkata akan hujan?

Sebelum Maela sempat bertanya, rintikkan air mulai turun. Dengan panik jendela pun ia tutup. Namun pandangan Maela kembali pada Gevariel yang masih fokus menatap ke depan.

Baju zirah yang sebelumnya terkena noda darah itu perlahan basah oleh hujan yang semakin deras. Ketopong besi yang tidak dipakainya membuat wajahnya basah oleh hujan.

"Anda bisa sakit jika hujan-hujanan," ucap Maela sambil membuka sedikit pintu jendela. Gevariel hanya menatap Maela sekilas dengan kerutan halus di keningnya, sebelum kembali menatap ke depan.

Tali kekang yang dipegang Gevariel pun mengerat, sedikit mempercepat laju kudanya dan berjalan menghampiri Thomas yang berjalan paling depan.

Dia mengabaikanku, pikir Maela dengan dengusan kesal.

Dia mengabaikanku, pikir Maela dengan dengusan kesal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

"Kalian bisa istirahat dulu di sini."

Pintu kereta kuda Thomas buka dan berkata demikian. Kini mereka tengah berada di dalam sebuah gua yang cukup besar, berada di sebuah kaki bukit yang berada di tengah hutan.

The Blessed SwordTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang