4.Sekolah

494 75 6
                                    

Hari ini Selia sudah bisa masuk sekolah. Pagi-pagi sekali gadis itu sudah bangun. Berbeda dengan rutinitasnya saat di Jakarta. Semua itu bisa terjadi berkat alarm dari jam 5 pagi yang ia setel untuk berbunyi setiap 5 menit sekali.

Hal itu di lakukan agar tidak membuat Nissa kesusahan untuk membangunkannya. Seperti yang di bilang mami papinya, ia tidak boleh merepotkan Nissa disini.

Kini seragam putih abu melekat pas di tubuhnya. Seragam yang di antarkan Nissa langsung ke kamarnya. Sebab Selia yang pergi dari meja makan lebih dulu kemarin.

"Selamat pagi, bunda!" Sapa Selia. Walaupun belum terbiasa dengan keluarga ini tetapi Selia tau cara menghormati orang yang lebih tua darinya.

"Pagi, Sel. Wah kamu udah bangun ternyata, baru mau bunda bangunin tadi!" Balas Nissa yang tengah sibuk memasak nasi goreng.

Selia berjalan menghampiri Nissa yang tengah sibuk itu. Ia hanya melihat, tidak melakukan apa-apa.

"Sel, bisa bantu bunda bawain ini ke meja gak?" Tanya Nissa.

Selia menggelengkan kepalanya menolak. Sudah ia bilang jika ia tidak akan lagi membantu siapapun tanpa terkecuali. Silahkan bilang Selia kekanakan. Tapi itu adalah aturan yang ia buat untuk dirinya sendiri.

"Maaf bun, Seli ke atas dulu yah!" Jawab Seli sebelum kembali ke kamarnya.

Sedangkan Nisa hanya mengangguk maklum. Ia sama sekali tidak mempermasalahkan sikap Selia itu. Ia hanya berpikir mungkin sang gadis masih belum terbiasa. Mungkin saja di rumahnya ia tidak pernah dibiarkan bekerja.

Sang gadis terus menaiki tangga itu dengan kepala tertunduk. Sampai ia tidak sadar bahwa ada Navaro yang berdiri tidak jauh darinya. Sedari tadi Navaro memang memperhatikan Selia dari sana. Di mulai dari Selia yang turun ke bawah sampai pada akhirnya menolak membantu Nissa. Navaro benar-benar menyaksikannya, menyaksikan keanehan Selia.

Selia yang sedari tadi terus menunduk membuatnya tidak memperhatikan pijakannya sendiri. Hingga saat kaki itu meleset memijak anak tangga. Sampai ia merasa bahwa sebentar lagi tubuhnya akan jatuh menghantam kerasnya anak tangga. Berguling sampai pada anak tangga terakhir.

"AAAAA!" Teriak Selia.

Sret

Nyatanya semua itu tidak terjadi. Karena Navaro dengan sigap menarik tangan Selia kuat-kuat. Jika saja ia tidak memiliki kepekaan yang tinggi, mungkin saja gadis itu sudah jatuh ke lantai sekarang. Mungkin saja Selia sudah terbaring dengan berlumuran darah dibawah sana.

"Lo kalau mau ngelamun jangan di tangga. Kalau barusan gak ada gue gimana?!" Ujar Navaro sedikit membentak.

Selia yang tengah mencoba mengatur nafasnya itu mendongak. Menatap Navaro yang baru saja tersadar jika ia berbicara dengan nada tinggi pada sang gadis yang tengah menatap takut.

"Gu-gue minta maaf!" Ujar Selia yang sepertinya masih ketakutan. Entah takut jatuh atau takut mendengar bentakan Navaro barusan.

"Sel, gue gak ber-"

Selia segera melepaskan cekalan tangan Navaro. Tanpa mendengarkan perkataan pemuda itu Selia segera melangkahkan kakinya masuk kembali ke dalam kamar.

Padahal baru kemarin Navaro berjanji akan membuat gadis itu kembali percaya. Jika seperti ini bagaimana Selia bisa percaya padanya.

"Astaga, Var. Lo apa-apain sih!" Gumam Navaro menyesal. Matanya bahkan tak lepas dari punggung Selia yang perlahan hilang di balik kamar itu.

"Var, kenapa? Kok bunda denger kamu marah-marah?" Tanya Nissa dari bawah. Rupanya ia mendengar kemarahan anak laki-lakinya itu tadi.

"Gak papa, bun. Varo keatas dulu yah!" Ujar Navaro yang hanya di balas anggukan oleh sang bunda.

***

Setelah kejadian pagi tadi hubungan Navaro dan Selia semakin aneh. Keadaan di dalam mobil itu masih saja hening. Terhitung sepuluh menit mereka berada di dalam mobil. Tapi baik Navaro dan Selia tidak ada yang berniat membuka percakapan.

Jujur saja Navaro masih merasa bersalah karena sudah membentak gadis itu. Walau sebenarnya ia tidak berniat melakukannya. Itu semua refleks ia lakukan.

"Sel, gue minta maaf!" Ujar Navaro saat mobil mereka telah sampai diparkiran sekolah.

Pemuda itu bahkan langsung membalikan tubuhnya guna melihat sang gadis. Menatap Selia penuh rasa bersalah.

"Iya!" Ujar Selia pelan.

Benar, ia tidak papa karena ia memang bersalah saat itu. Ia benar-benar hanya kaget saja. Karena pertama kalinya ada orang yang membentak seperti itu.

Kepala Navaro mengangguk pelan. Matanya masih terpaku pada Selia yang benar-benar hanya menunduk sedari tadi. Seolah ujung sepatu itu lebih menarik daripada wajah Navaro.

"Kalau ada apa-apa, gue di kelas sebelah lo!" Ujar Navaro lembut.

"Gue gak perlu apa-apa!" Ujar Selia datar.

"Kalau, Selia. Gue temen lo loh!" Ujar Navaro tegas.

"Kita bukan temen. Gue juga gak berniat punya temen!" Bantah Selia sembari melayangkan tatapan datar pada Navaro. Setiap kata teman terdengar, Selia seperti diingatkan dengan bagaimana sosok teman yang dimilikinya dulu.

"Terserah lo. Yang penting kalau ada apa-apa, cari gue aja. Di kelas sebelah lo!" Ujar Navaro keukeuh.

" Lo terlalu ngurusin hidup gue!" Ujar Selia datar.

"Karena gue temen lo!" Jawab Navaro keukeuh.

"Bukan!" Bantah Selia marah.

"Sel, gue janji gak akan kayak mereka!" Ujar Navaro tak mau kalah.

"Gak usah janji, gue males nagih!" Ujar Selia santai sebelum akhirnya keluar dari mobil.

"Susah banget sih, Sel!" Gumam Navaro.

***

Cerita kali ini chapt nya pendek-pendek yah wkwk

Semoga aja suka + ngerti🤭

TEMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang