Dua

268 51 11
                                    

Sesekali, Ray ingin egois. Ray ingin mendapatkan apa yang dia inginkan. Ervan selalu berada di depannya sejak mereka berdua sahabatan dari SMP dulu. Lama-kelamaan, hal itu menumbuhkan rasa iri dalam diri Ray.

Ervan punya sahabat perempuan dari kecil, yang tak lain adalah Livya. Seseorang yang mengerti akan Ervan. Lalu, pada saat SMA, Ervan dengan mudahnya mendapatkan seseorang yang juga Ray sukai dalam diamnya, yaitu Anita. Ervan juga menjadi ketua OSIS, kapten basket dan banyak hal lagi--membuat Ray merasa dirinya selalu saja didahului oleh sahabatnya itu.

Ray kadang benci pada kenyataan bahwa semua hal bisa Ervan dapatkan. Tak terkecuali yang Ray inginkan juga. Mengenai Livya, Ray tak menganggap perempuan itu sebagai sahabatnya. Ingin seperti Ervan yang bebas berekspresi apa saja dengan Livya, Ray tidak bisa walau ingin. Semuanya tertahan karena Ray tahu perempuan itu menyukainya. Sedangkan Ray, sama sekali tidak memiliki rasa apa pun terhadap perempuan itu.

Lelaki itu berdecih begitu membaca pesan Livya. Perempuan yang sudah dua kalinya menyatakan cinta padanya itu. Ray yakin, tidak ada persahabatan yang murni di antara kedua orang berbeda jenis kelamin. Jadi, mengingat Ervan dan Livya yang melanjutkan study mereka di luar negeri sana, Ray curiga jika Ervan bermain dengan Livya di sana. Ray tidak percaya pada ucapan Ervan yang akan mencintai Anita sampai kapan pun.

Jemari Ray mengetik balasan pesan untuk Livya sebelum memblokir nomor perempuan itu. Ray akan fokus untuk mendapatkan Anita--seseorang yang dicintai Ervan. Dia ingin menang dari Ervan kali ini, perihal seorang perempuan.

Bagus deh, lo emang seharusnya lupain gue
Karena sampai kapan pun gue nggak akan pernah ngelirik elo.
Ini terakhir kali gue bales chat dari lo. Bye!

Sementara, Livya mendesah kecewa melihat balasan chat dari Ray. Dia hanya berkirim pesan yang menyebutkan akan berusaha melupakan Ray, namun balasan menyakitkan yang dia dapatkan dari lelaki itu. Padahal, Livya awalnya ingin tes Ray,  ternyata lelaki itu benar-benar tidak menginginkannya.

Livya mengusap air matanya pelan.

"Livya, are you, okay?"

Livya tersentak ketika mendengar suara seorang lelaki di dekatnya. Dia tidak tahu sejak kapan lelaki yang sedang mendekatinya itu datang dan berada di sebelahnya. Perempuan itu mengangguk sembari tersenyum tipis. "Mau lunch bareng?"

"Boleh." Lelaki yang juga fasih berbicara Indonesia karena masa kecilnya tinggal di sana itu menatap Livya lekat. "Tapi, kamu baik-baik aja, 'kan?" tanyanya tampak khawatir.

"Iya, aku baik-baik aja, kok. Barusan melow, tiba-tiba kangen mamaku," ujar Livya yang tentu saja berbohong. Tidak ingin lelaki itu tahu apa yang membuat dirinya sedih.

Lelaki itu manggut-manggut.

"Barusan habis teleponan sama mama kamu?"

Livya mengangguk. "Makanya, aku jadi kangen. Cengeng banget ya, aku? Kangen mama aja sampe nangis."

"Enggak, kok. Wajar aja. Maklum, ini kan baru pertama kalinya kamu tinggal berjauhan sama orang tua kamu." Lelaki bernama Frans itu menyentuh punggung tangan Livya. "Kalau lagi sedih, jangan sungkan untuk cerita sama aku. Kamu bisa cerita apa pun sama aku."

"Terima kasih, Frans."

Livya menghela napas. Menatap Frans yang telah melepaskan tangannya dari punggung tangan Livya. Perempuan itu mengingat kebaikan Frans dan bagaimana sikap yang ditunjukkan lelaki itu sejak pertama kali mereka kenal.

Cerita Lama yang Belum UsaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang